(Bagian kedua)

An-Nahwu Abu al-‘Ulûmi wa ash-Sharf Ummuhā, ilmu nahwu adalah bapaknya ilmu-ilmu, sedangkan ilmu sharaf adalah ibunya.

Kalimat diatas mungkin sangat akrab di kalangan para santri dan
pelajar bahasa arab, biasa tertulis di pembukaan kitab-kitab gramatikal bahasa
arab yang mereka pelajari, atau juga dapat ditemukan di covernya.

Mengapa ilmu nahwu disebut sebagai bapaknya ilmu-ilmu? شركة بوين Tidak ilmu
tafsir? Atau ilmu hadis? Jawabannya adalah karena untuk memahami Alquran dan
Hadis kita diharuskan untuk memahami ilmu gramatikal bahasa arab secara dalam,
belum lagi untuk menggali hukum-hukum di dalamnya, para ulama terdahulu selain
ahli dalam nahwu mereka juga memiliki alat-alat bedah berupa ilmun mantiq dan
lainnya untuk menyimpulkan suatu hukum. Tidak mudah.

Dalam mempelajari sesuatu, kita harus mengikuti alur yang sudah
ditentukan, dan melangkahi urutan step dari awal sampai akhir. Step pertama
adalah ilmu nahwu. Karena bagaimanapun kita ngebet ingin memahami tafsir
Alquran maupun syarah hadis, tanpa ilmu nahwu apalah jadinya, pemahaman kita
akan bermasalah, karena kitab-kitab tersebut menggunakan bahasa arab.

Berangkat dari hal diataslah penyusun nazom ‘Imrithy mengatakan di
mukaddimah:

والنحو أولى أولا أن يعلما # إذ الكلام دونه
لن يفهما

“Nahwu adalah ilmu yang paling utama
dipelajari dahulu, karena kalam tanpa ilmu nahwu tidak bisa difahami.”

Imam Jalaluddin As-Suyuti mengatakan di dalam kitab syarah
alfiyahnya: “Sungguh para ulama telah bersepakat bahwa ilmu nahwu adalah ilmu
yang dibutuhkan di dalam segala bidang ilmu, lebih-lebih dalam ilmu tafsir dan
hadis. Tidak diperbolehkan bagi seorang pun berbicara mengenai Al-Qur’an sampai
ia menguasai bahasa Arab. Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu berbahasa Arab, tidak
akan dapat dipahamai maksud-maksudnya kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah
bahasa Arab. Begitu pula berbicara tentang hadis.”

Dalam kitab Syarah ad-Durrah al-Bahiyyah Nadhm al-Ajurumiyyah terdapat
syair yang menegaskan urgensi seseorang memahami ilmu nahwu,

مَنْ فَاتَهُ النَّحْوُ فَذَاكَ الْأَخْرَسُ ۞ وَفَهْمُهُ فِيْ كُلِّ عِلْمٍ مُفْلِسُ

“Barang siapa yang terlepas dari ilmu nahwu maka dialah orang yang
bisu ۞ Pemahamannya terhadap
setiap ilmu merugi.”

وَقَدْرُهُ بَيْنَ الْوَرٰى مَوْضُوْعُ ۞ وَإِنْ يُنَاظِرْ فَهُوَ الْمَقْطُوْعُ

“Kedudukannya diantara manusia menjadi rendah, ۞ dan bila bertukar pikiran maka ia menjadi orang yang
terputus (tak dapat mengikuti yang lain).”

لَا يَهْتَدِيْ لِحِكْمَةٍ فِى الذِّكْرِ ۞ وَمَا لَهُ فِيْ غَامِضٍ مِنْ فِكْرٍ

“Tidaklah mendapatkan hikmah dalam zikirnya ۞ dan ia tidak dapat menjelaskan pemikirannya.” (Syarah
ad-Durrah al-Bahiyyah Nadhm al-Ajurumiyyah,
Majid Muhammad ar-Rāghib, Dar
el-Ashmā’, halaman 13)

Ibnu Shalah menyebutkan riwayat dari Abu
Daud, “Aku pernah mendenar al-Ashmu’i mengatakan, sesungguhnya hal yang paling
aku khawatirkan dari seorang penuntut ilmu apabila tidak mengetahui ilmu nahwu
akan masuk ke dalam sabda Nabi, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku
secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.”
Dikarenakan
Nabi Saw menyampaikan hadis dengan benar tanpa kesalahan dalam tatabahasa, maka
apabila engkau meriwyatkan hadis dengan salah maka engkau telah berdusta. (Syarah ad-Durrah
al-Bahiyyah Nadhm al-Ajurumiyyah,
Majid Muhammad ar-Rāghib, Dar el-Ashmā’,
halaman 13)

Kutipan-kutipan diatas menggambarkan betapa pentingnya seseorang
mempelajari ilmu nahwu. Semoga dapat menjadi pendobrak semangat kita dalam
mempelajarinya, dengan diniatkan untuk memperdalam pemahaman dalam ilmu agama. Amiin


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *