Beberapa program
beasiswa baik yang ditawarkan oleh pemerintah atau universitas di Indonesia, dalam
negeri maupun luar negeri pernah saya coba. Setidaknya saya pernah mencoba 7
program beasiswa, termasuk beasiswa LPDP dan beasiswa program 5000 Doktor dari
Kemenag RI. Dari sekian banyak program beasiswa yang saya daftar, semua
menyisakan kisah yang mengesankan. Meskipun sering gagal, tapi saya tetap
berusaha dan terus mencoba. Sampai pada akhirnya tanpa sengaja saya mendapat
informasi beasiswa di Thammasat University dengan jurusan Asia-Pacific Studies.

Sama seperti
proses pendaftaran beasiswa pada umumnya, beasiswa ini melakukan seleksi
pemberkasan dan wawancara. Saya sangat bersyukur saat dinyatakan lolos beasiswa
ini, sebab hanya terdapat 6 kuota untuk pendaftar dari berbagai negara di Asia.

Saya yakin, ada
peran Tuhan dalam terpilihnya saya pada beasiswa ini. Walaupun tidak sementereng beasiswa yang pernah saya
daftar sebelumnya, kuliah di Thammasat University menawarkan banyak hal menarik
dan fasilitas kelas internasional. Terlebih lagi, jurusan saya Master of Asia Pacific Studies ini
senada dengan mimpi saya sewaktu dulu, yakni bisa kuliah jurusan hubungan
internasional dan kelak menjadi seorang Diplomat, layaknya KH. Adam Malik atau
Surin Pitsuwan.

Departmen tempat
saya menempuh program master ini sangat unik dan menarik karena mengombinasikan
berbagai rumpun keilmuan, seperti Hubungan Internasional, Politik, Ekonomi, dan
Sejarah. Ini merupakan kajian yang sangat jauh dari rumpun keilmuan saya
sewaktu S1 yang pada saat itu belajar tentang Ilmu Falak di Fakultas Syariah,
UIN Walisongo. Meskipun saat awal kuliah sempat merasa minder, tapi saya
mencoba meyakinkan diri saya, bahwa kajian ilmu sosial sejatinya memiliki
keterkaitan. Berbeda dengan ilmu sains yang lebih rumit, ilmu social bisa
dipelajari dengan ketekunan membaca dan memahami materi. Menariknya, semua
peserta lain yang lolos pada beasiswa ini juga memiliki latarbelakang
pendidikan dengan rumpun keilmuan yang berbeda.

Belajar pada
program internasional sangatlah menarik, menantang, sekaligus menyenangkan.
Semua teman sekelas saya yang jumlahnya 12 mahasiswa berasal dari Negara yang
berbeda-beda. Selain itu, semua Mahasiswa memiliki keberagaman dari segi agama,
latarbelakang pendidikan, dan rentan usia. Sehingga hal ini terkadang
menjadikan lingkungan akademik di kelas sedikit menghangat namun tetap menarik.

Memahami dan
Mengamalkan Pluralisme

Teman sekelas
saya yang berjumlah 12 orang, 5 diantaranya merupakan penerima beasiswa TICA
(Thailand International Cooperation Agency), 6 diantaranya termasuk saya
merupakan penerima beasiswa TU (Thammasat University), dan hanya satu yang
kuliah dengan biaya sendiri. Skema beasiswa TICA diperuntukkan bagi pendaftar
yang tercatat sebagai pegawai pada lembaga pemerintah di Negara asalnya.
Sedangkan beasiswa TU mayoritas merupakan fresh
graduate
. Meskipun sedikit berbeda, kedua beasiswa ini menanggung penuh
biaya pendidikan dan memberikan biaya hidup bagi mahasiswa sebesar 16,000 Baht
(Rp 6,8 juta) tiap bulannya.

Shirakata
Hideaki adalah salah satu kawan saya berkebangsaan Jepang. Hide, sapaan
akrabnya merupakan alumnus Leeds University, pada jurusan International
Political Economy. Pria yang sebelumnya sempat bekerja sebagai supervisor pada
sebuah perusahaan Microsoft di Singapura ini memberikan warna tersendiri dalam
kegiatan akademik di kelas. Meskipun, lebih sering diam, pengalaman dan
kecerdasannya memberikan manfaat bagi mahasiswa lainnya karena sering diajak
diskusi diluar jam kelas.

Sempat saya
bertanya, mengapa ia memilih untuk melanjutkan di Thammasat University,
mengingat ia sudah memegang gelar Master dari Inggris dan sempat memiliki
pekerjaan mapan. Jawabannya sangat sederhana, rupanya Hide memiliki
ketertarikan yang kuat tentang sosio-politik di Asia Tenggara, sehingga ia
ingin meraih gelar Master keduanya di Thammasat University, sebagai salah satu
universitas yang memiliki kajian Asia-Pacific terbaik di ASEAN.

Kawan saya
selanjutnya adalah Thu Rein Saw Htut Naing, atau sering disapa Thurein. Pria
berusia 32 tahun ini merupakan asisten direktur kementerian luar negeri
Myanmar. Pengalamannya di bidang diplomasi sudah sangat banyak. Ia pernah
ditugaskan di kedutaan besar Myanmar di Swiss selama 3 tahun. Selain Thurein,
Su Sandar Than ialah kawan saya yang juga berasal dari Myanmar. Su, sapaan
akrabnya, memiliki latarbelakang pendidikan yang unik. Wanita berusia 43 tahun
ini memiliki ijazah S1 jurusan Fisika terapan. Meskipun demikian, Su, sudah
lima belas tahun bekerja di kementerian luar negeri Myanmar dan sempat bertugas
di berbagai Negara seperti Filipina dan Srilanka. Sehingga, ia memiliki
kemampuan yang cukup matang secara praktikal dalam dunia diplomasi.

Un Samnang, juga
merupakan salah satu kawan saya yang memiliki jam terbang tinggi dalam dunia
diplomasi. Meskipun belum pernah ditugaskan di kedutaan luar negeri, pria asal
Kamboja ini sudah lama bekerja di kementerian luar negeri. Samnang merupakan
salah satu mahasiswa paling aktif di kelas, selain pengalaman tentang diplomasi
yang cukup banyak, pria beranak dua ini juga merupakan sarjana pendidikan
bahasa Inggris yang sangat mahir dalam berargumen. Selain Samnang, satu lagi
kawan saya yang dari Kamboja, ia adalah Nget Norin Rachny atau biasa disapa
Rachny. Perempuan berusia 26 tahun ini merupakan salah satu letnan dalam
kementerian pertahanan Kamboja. Ayahnya yang seorang Jenderal militer
berpengaruh, mendorong ia untuk juga bekarier di dunia militer. Meskipun lekat
dengan dunia militer, ia merupakan sosok yang anggun. Bahkan Rachny memiliki bisnis
bunga hias di rumahnya.

Luong Anh Linh
dan Do Thi Chang merupakan dua kawan saya yang berasal dari negeri komunis
Vietnam. Mereka berdua tergolong masih muda, usianya baru 23 tahun. Tidak
seperti kawan saya yang lainnya, kedua gadis ini merupakan fresh graduated yang
belum memiliki pengalaman kerja. Keramahan dan suaranya yang khas, membuat
kehadirannya menghangatkan suasana di kelas. Selain Linh dan Chang, kawan saya
yang juga fresh graduated adalah Nurul Izzati, gadis asal Brunei ini merupakan
sarjana jurusan Sejarah. Ia sering berdiskusi dengan saya tentang banyak hal
khususnya yang berkaitan dengan sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha hingga
perkembangan Islam di Nusantara yang sangat akrab baginya.

Kawan saya
selanjutnya ialah Palden yang berasal dari Bhutan. Sebelum mendapatkan beasiswa
kuliah, ia merupakan relawan pengajar di Thailand bagian utara yang sudah
bekerja selama 2 tahun. Palden adalah sosok yang aktif, ia gemar bercerita
tentang keunikan dan keindahan alam negaranya. Sebagai Negara kecil diantara
dua Negara raksasa yakni China dan India, banyak hal menarik untuk
diperbincangkan tentang Negara Bhutan.

Panipak Athisiwakul atau yang sering saya sapa Momie ini merupakan satu-satunya mahasiswa Thailand di kelas saya. تعليم القمار Selain itu, ia juga satu-satunya mahasiswa yang tidak menerima beasiswa. طريقة الربح في الروليت Meskipun, sponsor utama beasiswa kami berasal dari pemerintah Thailand, tetapi seleksi yang dilakukan sangat adil dan transparan. Bahkan, untuk warga Thailand sendiri pun belum tentu bisa lolos selagi ia tidak memiliki kriteria yang ditetapkan. العاب للايفون Momie ialah sosok yang suka menolong, seringkali ia menjadi tour leader saat kami mengadakan travelling ke Bangkok.

Teman-teman di kampus

Irwita Erlangga
merupakan kawan saya dari Indonesia. Ia merupakan alumni FISIP UGM jurusan
kebijakan publik. Pria yang biasa saya sapa Mas Angga ini sebelumnya sempat
bekerja di pemerintah kota Yogyakarta. Selain itu, ia juga seorang peneliti
yang sering melakukan kajian lapangan di berbagai wilayah di Indonesia,
termasuk Kalimantan dan Papua. Orangnya ramah dan sangat baik hati, saya sering
berkunjung ke appartemennya untuk masak bersama makanan-makanan khas Indonesia
sebagai penawar rindu.

Kondisi kelas
yang diisi oleh mahasiswa dengan berbagai latarbelakang ini membuat sistem
pembelajaran semakin menarik. Terlebih lagi para dosen pengajarnya pun bukan
hanya dari Thailand tetapi juga berasal dari berbagai Negara, seperti Jepang,
China, dan Australia. Walaupun demikian, nilai-nilai toleransi dan sikap empati
sangat dijunjung tinggi dalam kelas kami. Pernah sekali ada mata kuliah politik
dan keamanan di Asia Pasifik, salah satu materi yang dibahas mengenai masalah
terorisme. Meskipun tidak bermaksud rasis atau menyinggung SARA, ada beberapa
kalimat dosen yang sedikit menyudutkan umat Islam. Menariknya, Thurein yang
beragama Budha interupsi dan mengusulkan kepada dosen agar memilih diksi yang
lebih tidak profokatif agar tidak menyinggung mahasiswa muslim di kelas, kata
dia waktu sambil tersenyum ke arah saya. Dosen saya pun tersenyum, mengangguk
dan meminta maaf. Padahal saya, Mas Angga, dan Iza sebagai mahasiswa beragama
Islam sudah merasa maklum dan kami pun tidak tersinggung sama sekali dengan
perkataan dosen tersebut.

Meskipun
disibukkan dengan berbagai tugas kuliah, selama di Thailand saya mencoba untuk
aktif diberbagai kegiatan, terutama yang diselenggarakan oleh KBRI atau
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Thailand (PERMITHA). Saya sempat terlibat
sebagai panitia beberapa kegiatan seperti pameran wisata bertajuk Generasi
Wonderful Indonesia (GENWI) yang diselenggarakan oleh Kemenpar dan KBRI di
sebuah pusat perbelanjaan di kota Bangkok. Kegiatan ini bertujuan untuk
mensosialisasikan 10 destinasi wisata unggulan Indonesia. Selain itu, saya juga
pernah menjadi panitia Simposium PPI Asia Oseania 2018 yang merupakan agenda
tahunan PPI.


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *