Catatan Menjadi Muslim Indonesia di Belanda (4)

Suatu ketika di pertengahan bulan April 2017 silam, saat saya sedang asyik mereview draft tesis master yang tengah saya tulis di foyer orange lantai 1 kampus Vrije Universiteit Amsterdam, salah satu teman kelas kuliah saya datang menghampiri, sambil menunjukan pamflet pengumuman yang ia bawa, dan bertanya, ‘Dito, apakah engkau juga akan mengikuti acara perayaan Isra dan Mi’raj ini? Sunggguh, saya masih bingung! untuk apa peristiwa yang ‘belum tentu benar’ adanya secara ilmiah ini dirayakan oleh banyak umat Islam di tiap tahunnya? Apa memang benar, nabimu Muhammad, telah melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa lalu bertemu Tuhan di langit hanya dalam kurang lebih satu malam? It is crazy you know!

Mendengar pertanyaan dan pernyataan seperti itu darinya tidak langsung membuat saya kaget. Teman saya ini adalah seorang ateis. العاب ماكينات Penikmat kajian filsafat dan senang berdiskusi seputar identitas agama dan politik negara, juga segala yang berkaitan dengan sejarah peradaban agama-agama di Eropa. لعب بوكر Salah satu topik yang sering kali didiskusikanya saat itu adalah sejarah holocaust, suatu peristiwa dimana tentara Nazi Jerman yang dipimpin Adolf Hitler melakukan pembantaian dan pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Yahudi di Eropa, khususunya di Jerman.

Monumen Holocaust di Jerman, penulis berkunjung di monumen ini di penghujung tahun 2017

Saya
akui, teman saya ini sangatlah aktif dan kritis. Rasa ingin tahunya seputar
dunia teologi dan sejarah Islam sangatlah tinggi. Tidak sekali dua kali dia bertanya
hal semacam itu kepada saya dan juga kepada teman muslim saya lainya.
Pertanyaanya pun akan beragam, mulai dari seputar konsep terorisme dan perdamaian
dalam Islam hingga merespon tren informasi terbaru yang berkembang saat itu.
Bahkan, kita pun pernah mendiskusikan secara khusus tentang bagaimana konsep
keadilan setelah mati saat kita melewati sebuah pemakaman umum di salah satu
kota di Palestina saat melaksanakan tugas internship di Israel-Palestina di
bulan Maret 2017 silam.

Kembali
ke pertanyaan dan pernyataan diatas. Sambil tersenyum saya pun merespon satu persatu
pertanyaanya. Kepadanya saya katakan, jikalau ada kesempatan untuk menghadiri
acara peringatan Isra dan Mi’raj di salah satu masjid di Amsterdam, insya’a
Allah, saya akan hadir di salah satu acara tersebut.  Lebih jauh lagi saya tegaskan bahwa dalam
peristiwa Isra dan Mi’raj, saya sangat meyakini bahwa Nabi kami, Muhammad SAW,
tidak pergi untuk tujuan berjalan sendiri ke tempat yang dimaksud, melainkan diperjalankan
oleh Tuhan yang maha segala-galanya untuk sebuah misi agung ‘keagamaan’ yang
luar biasa. Jelas sangat berbeda antara berjalan biasa dan diperjalankan, saya
tegaskan.

‘Seekor
semut yang berada di bandara Paris Charles de Gaulle Perancis mungkin akan
butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun tahun untuk bisa sampai di
bandara Schipol Airport Amsterdam di Belanda dengan cara ia berjalan biasa.
Tetapi, akan berbeda jikalau semut tersebut ikut dan diperjalankan oleh salah
satu pesawat yang ada di Paris Charles de Gaulle dan akan terbang ke bandara
Schipol Airport Amsterdam. Seekor semut tersebut tentunya bisa tiba di bandara
Schipol Amsterdam dari Perancis tidak lebih dari 2 jam, atau bahkan hanya
sekitar 1 jam 20 menit sebagaimana lazimnya waktu penerbangan pesawat KLM dari
Paris ke Amsterdam. Demikian analogi yang saya kisahkan kepadanya. مال مجاني

Bukankah
Isra dan Mi’raj tak ubahnya sebuah perjalanan biasa sebagaimana perjalanan nabi/manusia
pada umumnya? Lanjutnya

Tidak
kawan!. Isra dan Mi’raj lebih dari perjalanan manusia biasa pada umumnya. Isra
Mi’raj adalah sebuah perjalanan istimewa. Sebuah momentum agung dimana seorang
manusia pilihan mendapatkan titah Tuhanya untuk melaksanakan tugas kenabian-nya:
bertemu Tuhan yang maha kuasa, lantas mendapatkan perintah ibadah yang agung
(baca: Shalat) untuk ditegakkan sepulangnya. Hanya orang terpilihlah yang
mendapatkan tugas istimewa tersebut, dialah nabi akhir yang kami yakini adanya,
Muhammad SAW.

Di
tengah diskusi Panjang tersebut, saya pun teringat salah satu catatan tulisan seorang
professor di bidang Astronomi Islam yang tulisanya banyak dirujuk oleh peminat
kajian Astronomi Islam di Indonesia dan dunia, Prof. Thomas Djamaluddin.
Profesor muslim Indonesia  jebolan ITB
dan kampus Kyoto di Jepang yang kini menjadi kepala lembaga penerbangan dan antariksa nasional. Dalam kanal
website pribadinya, ia menulis ‘Peristiwa Isra dan mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang
antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsa
ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra dan Mi’raj adalah perjalanan
keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat dengan
mudah menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar
ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan
beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan
keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu
sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya
dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan
iman.’

Kepada teman Ateis
itu kembali saya tegaskan bahwasanya untuk meyakini sebuah peristiwa seperti
Isra dan Mi’raj dalam ajaran Islam tidaklah cukup hanya mengandalkan logika dan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga harus ditopang dengan
modal keimanan yang kuat kepada Tuhan dan nabi-nabinya. Dengan begitu perpaduan
semangat kita beriman (yaqin) dan mengaitkannya dengan dunia ilmu
pengetahuan (ilm) akan memberikan dimensi semangat/ruh yang berbeda dalam kita
menjalani aktivitas ibadah kita sehar-hari.

Teman saya pun tersenyum. Ia mengerti,
diskusi teologis seperti ini tidak perlu lagi ia lanjutkan. ‘Tidak ada yang
perlu didiskusikan hingga ‘membuntut’ jikalau sudah menyentuh sendi-sendi
keimanan.’
Darinya pun saya belajar, nilai-nilai toleransi bisa disemai dengan
sikap saling menghargai dan menghormati pendapat, bukan dengan memaksakan orang
lain untuk mengikuti kehendak dan pendapat.

Setelah sekian lama tidak membuka lembar catatan perjalanan ini, saya baru kembali membuka draft lembaran catatan perjalanan ini di tengah-tengah perayaan Isra Miraj 1441 H / 2020 tahun ini, atau setelah kurang lebih 3 tahun lamanya.

Kondisi dunia saat ini tengah was-was
dan cemas di tengah mewabahnya virus Covid–19 atau virus Corona, yang oleh WHO,
badan kesehatan dunia, virus Corona ini sudah diumumkan sebagai pandemi global
yang harus diwaspadai oleh umat manusia di seluruh dunia.

Seruan social distancing. Source: Freepik.com

Dalam kesendirian saya merenung cukup panjang, hingga sampai kepada sebuah pemahaman. ‘Momentum perayaan Isra Mi’raj tahun ini bisa jadi sekaligus menjadi hadiah bagi kita yang terus gundah dan gusar akibat maraknya penyebaran virus Corona. Bukankah dulu Allah perjalankan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu bertemu para nabi di tengah perjalanan menuju langit ke tujuh sampai akhirnya bertemu Allah SWT untuk, salah satunya, untuk memberikan ‘kado ketenangan hati’ kepada Nabi yang baru saja ditinggal dua permata hidupnya, Khadijah istrinya dan Abu Thalib pamanya? Jangan-jangan, Allah juga menginginkan kita mencari nilai-nilai indah di balik merebaknya virus corona yang mencekam dan menakutkan ini?

Dengan
apa kita bisa memaknai Isra Miraj di tengah Corona?

Anjuran pemerintah untuk kita melakukan self-distancing, menjaga diri agar tidak tersebar dan menjadi penyebar virus corona, hendaknya kita taati. Selain menjadi upaya ampuh untuk membatasi penyebaran virus corona, momentum self-distancing ini hendaknya dijadikan sarana pembelajaran dan instropeksi diri bagi kita semua. Memperbaiki keran-keran komunikasi dengan pencipta yang mungkin masih sering tertutup, membangun kembali komunikasi antar sesama anggota keluarga, khususnya orang tua, adik, kakak hingga anak-anak kita. Pada akhirnya, saya yakin, self-distancing ini akan bermuara kepada ikhtiar untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbaiki ibadah shalat kita, sebagaimana shalat adalah sebuah ibadah agung yang diperintahkan tepat pada saat pelaksanaan Isra dan Mi’raj.

Mintalah kepada Allah dengan Sabar dan Shalat! Adakah bentuk penghambaan lain seorang hamba kepada Tuhanya yang lebih baik dari Sabar dan Shalat?  Wallahu a’lam bishowab

Dito Alif Pratama, MA


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *