Oleh Muhammad Alvin Jauhari*

R.A Kartini meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya yang kemudian diberi nama Soesalit. Kepergian Kartini ini jelas memukul batin Sosrokartono, saudara perempuan yang banyak mendapat perhatian darinya. Belum genap satu tahun Sosrokartono ditinggalkan Kartini, Empat bulan setelahnya Sosrokartono kembali mendapatkan ujian, yaitu wafatnya ayahanda tercinta, Raden Mas Adipati Arjossroningrat pada 21 januari 1905, kepergian ayahanda jelas sangat melumpuhkan hati dan jiwa Sosrokartono, sebab kali ini Sosrokartono juga tidak bisa menghadiri pemakaman ayahandanya.

Lulus Doktorandus

Setelah diuji oleh para guru besar Universitas Leiden, pada 08 Maret 1908 Sosrokartono kembali menorehkan sejarah emasnya, yaitu lulus dengan predikat Summa cumlaude dan ia menyandang gelar Doctorandus in de Oesterche Talen (Drs) dalam bidang sastra dan bahasa Timur. Kebahagiaan Sosrokartono ini mungkin berkurang, karena Ayahanda dan Adiknya tercinta tidak sempat menyaksikan keberhasilan studinya yang sangat membanggakan ini. Berbeda dengan keberhasilanya saat lulus di HBS Semarang pada waktu itu. Setelah dinyatakan lulus ini, Sosrokartono ikut berwisuda seperti mahasiswa pada umumnya, ia pun mengenakan toga dan topi.

Setelah lulus dari doktorandus, Sosorokartono sebenarnya ingin langsung melanjutkan studinya ke jenjang doktoral. Namun, karena dirinya memiliki konflik dengan Snouck Hurgronje, akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan doktoral. Konflik Sosrokartono dengan Snouck tidak lain karena Sosrokartono memperjuangkan hak warga pribumi agar mendapatkan kehidupan yang layak, utamanya pendidikan.  Sedangkan Snouck sendiri tidak memiliki rasa simpati sama sekali kepada warga pribumi. Bahkan Snouck menganggap Sosrokartono sebagai ancaman terhadap rezim kolonialisme. Dan snouck juga pernah mengatakan secara terang-terangan “ Selama saya di sini masih berkuasa, Sosrokartono tak akan dapat menjadi doktor.” Pernyataan Snouck ini mencerminkan betapa kerasnya konflik antara dirinya dengan Sosrokartono. Oleh sebab itu, Sosrokartono memutuskan untuk tidak menyelesaikan studi doktornya.

Wartawan Perang Dunia I

Gagal menjadi Doktor, Sosrokartono kemudian melanjutkan pengembaraanya untuk mencari pekerjaan di Eropa. Sebelum menjadi Wartawan Perang, Sosrokartono terlebih dahulu menjadi tenaga penerjemah di Wina, Austria. Di sini Ia mendapat julukan sebagai “ Genius dari Timur”. Kemudian pada saat Eropa dilanda Perang Dunia I, Sosrokartono mendaftarkan dirinya sebagai wartawan perang di surat kabar The New York Herald  yang bermarkas di Amerika, sekarang menjadi The New York Herald Tribune.  Menjadi wartawan untuk surat kabar ini bukanlah hal yang mudah dengan berbagai persyaratan yang sangat ketat dan bersaing dari berbagai negara. Diantaranya adalah meruingkas berita. Sosrokartono sebagai satu-satunya yang mampu meringkas dan menerjemah artikel panjang menjadi 27 kata ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Rusia. Sedangkan pelamar yang lain hanya mampu meringkas artikel menjadi 30 kata. Selain iu, juga dituntut untuk menguasai beberapa bahasa. Dan akhirnya, Sosrokartono sebagai satu-satunya yang diterima sebagai wartawan perang untuk koran The New York Herald.

Kemudian setelah Sosrokartono dinyatakan sebagai satu-satunya yang lolos sebagai wartawan perang The New York Herald , Ia diberi pangkat mayor oleh tentara sekutu supaya dirinya bisa mempunyai akses yang luas dalam meliput peperangan. Selain itu, Ia juga diberi oleh Sekutu sebuah senjata, namun ia tidak membawanya. Alasan Sosrokartono tidak mau membawa senjata yang diberi oleh Sekutu “ Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang.” Pada Saat Sosrokartono menjadi wartawan perang, Ia dikenal luar biasa canggih yang tidak bisa ditandingi oleh wartawan Barat sekalipun. Ia mempunyai karakter yang tenang, berani dan teliti sehingga liputanya soal perang selalu mendalam. Sosrokartono juga dengan sangat mudah mengendus dan menguak peristiwa-peristiwa tersembunyi dalam perang. Oleh karena itu, liputanya selalu menarik. Disaat para wartawan lain tidak ada yang mampu mengakses berita aktual dan hangat-hangatnya, namun Sosrokartono mampu mendapatkanya.

Tak kalah menarik prestasi Sosrokartono adalah disaat ia berhasil menurunkan berita perundingan antara Jerman yang kalah perang dengan Perancis yang menang perang. Perundingan ini merupakan sesuatu yang top secret (sangat rahasia) di tempat yang jauh dari publik, tidak boleh diliput oleh wartawan manapun, serta dijarak satu meter dijaga oleh aparat militer secara ketat dan siapa saja yang membocorkan perundingan ini, maka akan ditembak mati. Namun, begitu ketatnya perundingan ini, Sosrokartono tetap mampu menurunkan berita yang menggemparkan dunia tentang acara perundingan tersebut secara lengkap, tentunya Ia tidak menggunakan nama asli dalam liputanya itu. Setelah itu, Ia berhenti sebagai wartawan perang untuk koran tersebut. Alasan utamanya adalah karena dirinya justru tidak mendapatkan kedamaian.

Penerjemah Liga Bangsa-Bangsa

Setelah berhenti sebagai wartawan perang, Sosrokartono diminta pihak sekutu sebagai juru bahasa tunggal pihak sekutu. Tidak lama itu, Ia pun berhenti sebagai juru bahasa tunggal, karena adanya ketidaksesuain dengan idealisme dan batinnya. Kemudian setelah berhenti sebagai juru bahasa tunggal, Ia diangkat sebagai ahli bahasa oleh Kedutaan Perancis di Den Haag. Hingga pada masa berikutnya pada tahun 1920, Sosrokartono ditunjuk sebagai penerjemah untuk segala bahasa di Liga Bangsa-Bangsa di Genewa, Swiss, Ia merupakan satu-satunya anak bumiputera yang menduduki jabatan bergengsi ini di Liga Bangsa-Bangsa. Namun, tidak lama kemudian Sosrokartono memutuskan untuk keluar dari Liga Bangsa-Bangsa ini, karena Sosrokartono menganggap bahwa lembaga ini tidak mengarah spirit dan aura perdamaian, justru malah mengarah ke konflik dan peperangan, Serta Sosrokartono tidak merasakan adanya perdamaian di lembaga ini, yang ada dirinya merasa gersang dan kering.

Selamat Tinggal Eropa

Setelah keluar dari Liga Bangsa-Bangsa, Sosrokartono melanjutkan pengembaraanya ke Sorbone, Perancis. Tujuannya adalah untuk belajar kedokteran. Di Universitas Sorbone Ia masuk jurusan Psikometri dan Psikoteknik. Keinginanya untuk belajar kedokteran ini bermula dari pengalamanya saat masih di Genewa, Swiss. Ia diminta untuk mengobati seorang bocah yang menderita sakit berat. Bocah ini sudah beberapa kali dibawa ke dokter, namun hasilnya nihil. Oleh karena iu, Sosrokartono merasa iba hingga akhirnya mencoba mengobatinya. Setelah Ia mencoba mengobati bocah tersebut dengan menempelkan tangannya di dahi si bocah tersebut, dan meletakkan kedua tangan si anak di atas tanganya yang menempel di dahi itu, kemudian selang beberapa menit anak itu tiba-tiba kondisinya kembali normal dan yang awalnya pingsan langsung minta makan dan minum. Keajaiban yang luar biasa dari Sosrokartono.

Namun sayangnya keburuntungan tidak menjadi milik Sosrokartono. Ia tidak diterima masuk di Universitas Sorbone ini, lantaran ijazah yang ia miliki jurusan bahasa dan sastra, sedangkan masuk jurusan yang Ia inginkan harus dari jurusan Kedokteran. Walaupun Sosrokartono tidak dapat masuk pada jurusan yang ia inginkan. Ia masih beruntung bisa mengikuti kuliah informal di kampus tersebut. Setelah itu, Ia mendapatkan ilham untuk kembali ke tanah air. Sosrokartono dilanda kebingungan yang luar biasa antara tinggal di Eropa dan kembali ke tanah air. Sebelum kembali ke tanah air, Ia sempat singgah sebentar di Southampton, dikota ini merupakan kota terakhir pengembaraanya di Eropa. Dengan segala keyakinanya, Sosrokartono akhirnya memutuskan untuk meninggalkan semua kemapanan, kemewahan dan kemegahan di Eropa untuk kembali ke tanah air. Selama pengembaraanya yang lama di Eropa, secara material dan fisik Ia diliputi oleh kemewahan, kemapanan, gaji dan kekuasaan yang tinggi, namun Sosrokartono justru merasa tidak menemukan kebahagiaan dan kedamaian hakiki.

Cerita bersambung!

*Penulis adalah Alumni IICS 2019, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Sunan Ampel Surabaya, Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya, dan Alumni Pesantren Tebuireng Jombang & Madrasah TBS Kudus.


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *