Ngabuburit merupakan salah satu kegiatan untuk menunggu datangnya waktu berbuka puasa selama Ramadhan. Menghabiskan waktu ngabuburit sangatlah beraneka ragam ada yang menyimak tausiyah, berbagi takjil di sepanjang jalan, menonton film serial favorit dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini, ngabuburit jauh lebih berkesan karena Santri Mengglobal mengadakan ngabuburit virtual melalui webinar dengan menghadirkan para narasumber dari berbagai negara untuk berbagi cerita tentang pengalamannya berpuasa di luar negeri. Dengan mengusung tema ‘Cerita Puasa di Negeri Orang dan Sharing Pengalaman Meraih Beasiswa’ para narasumber ini selain berbagi cerita tentang pengalaman berpuasa di negeri orang tetapi juga berbagi tips dan trik bagaimana caranya meraih beasiswa studi di negara tersebut.

Dari serangkaian acara webinar ‘Cerita Puasa di Negeri Orang dan Sharing Pengalaman Meraih Beasiswa’, pada tanggal 2 Mei 2021, merupakan hari ketiga atau terakhir kegiatan cerita puasa yang diadakan oleh Santri Mengglobal. Pada hari Minggu ini, santri mendengarkan pengalaman berpuasa di Spanyol dan Jerman. Pembicara dari negara Spanyol disampaikan oleh Syarifatun Nisa Nurdy S.T., B.sc, mahasiswa Master di Universidad del Pais Vasco Spanyol. Ia juga termasuk penerima beasiswa Erasmus Mundus Ect+ yang diberikan oleh pemerintah negara Uni Eropa. Kemudian dari negara Jerman, disampaikan oleh Jubayla Rahmawati yang sedang menempuh pendidikan di Universitat Klinikum Essen melalui program Pflegefacfrau.

Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan semangat dan menginspirasi khususnya Santri Indonesia untuk dapat menempuh studi di negara-negara impiannya. Cerita puasa yang unik dari berbagai negara tentu akan memberikan inspirasi tersendiri bagi Santri Indonesia agar bisa menambah daya juang untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendapatkan beasiswa.

Pengalaman pertama, diceritakan oleh Syarifatun Nisa tentang pengalaman berpuasa di Spanyol. Baginya, berpuasa di negeri orang bukan untuk pertama kalinya dan pada tahun ini menjadi pengalaman yang ketiga bagi dia merasakan berpuasa di luar negeri. Jadinya dia sudah terbiasa dengan suasana, iklim dan atmosfer di Eropa khususnya Spanyol. Meskipun berpuasa di Spanyol lebih panjang waktunya daripada di Indonesia, dia juga menceritakan perjuangan  “survive” bagaimana caranya mencari masjid untuk beribadah dan belanja makanan halal mengingat dia tinggal tidak di daerah perkotaan. Ditambah lagi, rata-rata masyarakatnya bukan berasal dari imigran sehingga ketika dia ingin beribadah dan belanja makanan halal tentu harus menempuh jarak yang lumayan jauh untuk menjangkaunya.

Berbeda halnya dengan apa yang diceritakan oleh Jubayla Rahmawati yang menceritakan pengalamannya berpuasa di Jerman. Menurutnya pengalaman berpuasa di Jerman ini bukan hal pertama baginya sehingga dia sudah terbiasa dengan keadaan dan suasana disana. Dia menceritakan mudahnya menjangkau masjid, berbuka puasa dan membeli makanan halal mengingat di Jerman ada sebagian imigran muslim yang menetap disana. Dari faktor inilah Jubayla merasakan pengalaman berpuasa di Jerman tidak jauh beda dengan di Indonesia. Dalam hal kemudahan dalam menjangkau tempat beribadah dan membeli makanan halal. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dialami oleh Syarifatun Nisa yang berada di Spanyol yang harus menempuh jarak yang lumayan untuk menjangkau masjid dan membeli makanan halal. Tentunya dari perbedaan itu ada nilai plus dan minusnya masing-masing.

Setelah bercerita pengalaman puasa baik di Spanyol maupun Jerman, disambung dengan Syarifatun Nisa yang berbagi cerita tentang perjuangannya meraih beasiswa Erasmus Mundus Ect+ yang mensyaratkan di antaranya adalah IELTS dengan skor minimal 6.5, transkrip nilai, surat rekomendasi, resident letter dan motivation letter. Mengingat beasiswa Erasmus Mundus ini diberikan oleh pemerintah negara Uni Eropa, nantinya para penerima beasiswa akan merasakan pengalaman belajar dari beberapa universitas yang berbeda di negara-negara Uni Eropa.

Sedangkan Jubayla bercerita sebelum bergabung dengan kegiatan kerelawanan. Dia mengawalinya dengan belajar bahasa Jerman secara otodidak sebelum mengambil tes bahasa di Goethe-Institut (instansi resmi penyelenggara tes bahasa Jerman). Untuk bisa memenuhi persyaratan minimal program kerelawanan tersebut Jubayla harus mempunyai sertifikat bahasa B1. Kemampuan berbahasa Jerman menjadi sangat penting juga ketika menjalani studi dan bersosial dengan masyarakat di sana. Setelah dinyatakan lolos, dia berangkat ke Jerman untuk melakukan kegiatan kerelawanannya disana hingga saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana dengan mengambil jurusan keperawatan di Universitat Klinikum Essen. Sebelumnya, kegiatan yang sama dilaksanakan pada 1 Mei 2021 dengan pilihan negaranya adalah Maroko dan Singapura. Dan untuk sesi pada 2 Mei 2021 dengan pilihan negara Spanyol dan Jerman ini adalah sesi ketiga atau terakhir dari serangkaian webinar “Cerita Puasa di Negeri Orang dan Sharing Pengalaman Meraih Beasiswa”.


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *