Catatan Menjadi Muslim Indonesia di Belanda (Part 13)

Bagi umat Islam Indonesia, hari raya Idul Fitri selalu identik dengan tradisi Halal bihalal atau Silaturahim. Tradisi ini seperti sudah mandarah daging yang menjangkiti semua lapisan masyarakat Muslim di tanah air. Seperti ‘kurang afdhol’ dan ‘tidak sah’ rasanya kalau kita merayakan idul fitri tanpa Halal Bihalal.  

Dalam sejarahnya, KH Wahab Chasbullah adalah orang yang pertama kali mengenalkan istilah Halal bihalal sebagai nama lain dari silaturahim saat dan setelah Idul Fitri. Sebagaimana dikatakan K.H. Masdar Farid Mas’udi dalam tulisanya berjudul ‘KH Wahab Chasbullah Penggagas Istilah “Halal Bihalal’ yang tayang di NU online pada 17 Juli 2015, bahwa pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan saat Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa,  Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.

Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.

“Itu gampang”, kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal'”, jelas Kiai Wahab. Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas.

Tradisi halal bihalal, begitupun penggunaan istilah ‘Halal bihalal’ sebagai bentuk silaturahim saat dan setelah hari raya Idul Fitri sampai hari inipun masih tetap digunakan. Terlepas dari pelbagai macam bentuk nama lain dan konsep acara perayaan halal bihalal, yang pada umumnya dilakukan di banyak tempat di tanah air adalah dengan berkunjung ke rumah orang tua, saudara dan kerabat untuk memohon maaf dan saling memaafkan. Bahkan, di tengah kondisi pandemi virus corona seperti ini, aktifitas halal bihalal pun tetap tidak ditinggalkan, walaupun harus dilakukan dengan cara online atau virtual. Ini bisa kita lihat dari banyaknya pamphlet perayaan halal bihalal suatu komunitas, organisasi, hingga instansi pemerintah yang bertebaran di laman pemberitahuan media sosial kita beberapa hari kebelakang.

Foto bersama teman-teman PPI Amsterdam setelah shalat Ied (dok.pribadi)

Di Belanda, tradisi halal bihalal pun juga tetap dilestarikan. Saat merayakan Idul Fitri di Belanda, setelah menunaikan shalat Idul Fitri, saya pun bergabung dalam salah satu rombongan jamaah PPME Al-ikhlas Amsterdam untuk berkunjung ke sejumlah rumah jamaah PPME Al-Ikhlas Amsterdam, khususnya rumah para pendiri organisasi, tokoh, ustadz, maupun kerabat terdekat. Bahkan, tidak sedikit pula kalangan non-muslim yang berpartisipasi dalam acara halal bihalal ini.

Tidak jauh berbeda dengan lebaran dan halal bihalal di Indonesia, rumah masyarakat muslim Indonesia disanana pun akan terasa tidak lengkap tanpa adanya sejumlah makanan khas lebaran, seperti ketupat lebaran, opor ayam, juga sejumlah kue lebaran lainya. Karenanya, saya merasa hampir tidak ada perbedaan perayaan Idul Fitri di Belanda dengan di Indonesia.

Orang Belanda menyebut hari raya Idul Fitri dengan istilah Suikerfeest, yang mempunyai arti harfiah: pesta gula. Mengapa disebut Idul Fitri disebut dengan pesta gula? Salah satu alasan utamanya adalah karena saat hari Raya Idul Fitri masyarakat muslim banyak menghidangan makanan yang manis selama perayaan lebaran.

Ohya, ada catatan menarik yang juga saya dapatkan saat mengikuti halal bihalal di Belanda. Salah seorang Muslim diaspora yang telah lama tinggal di Belanda menjelaskan saya  beberapa makanan manis khas lebaran yang banyak disuguhkan di Indonesia yang secara bahasa berasal dari bahasa Belanda. Apa saja? Berikut catatan singkatnya:

Foto kue lebaran yang umumnya disajikan di Indonesia (source: detik.com)

Kaasstangels

Salah satu kue enak nan bergizi yang sering kali saya temukan saat lebaran adalah kaastangels, kue yang identik dengan cita rasa keju ini. Ternyata istilah kaastangels yang kita sering pakai di tanah air ini berasal dari bahasa Belanda, yaitu kaas yang berarti keju dan stangels yang artinya batangan. Secara etimologi, kaastangels berarti kue keju batangan. Sebagaimana orang Belanda menyebut kue ini dengan nama ‘Kaastangels’, cita rasa (resep) dan bentuk ukuran  kue kaastangels yang saya temui di Belanda pun tidak jauh berbeda dengan yang umumnya kita makan di Indonesia, kue batangan dengan cita rasa keju yang berukuran antara 20-30 cm.

Nastar

Salah satu kue favorit saya saat lebaran adalah kue nastar. Kue ini setidaknya yang tidak pernah absen dibuat mama saya sejak dulu sampai saat ini setiap kali hari raya Idul Fitri. Ternyata,  istilah nama kue Nastar pun berasal dari bahasa Belanda, ananas yang berarti nanas dan taart yang berarti kue. Sehingga nanas berarti kua yang berisi nanas. Kue nastar ini biasanya dibuat dalam bentuk yang lebih kecil / mini jika dibandingkan denga kue taart yang umumnya kita temui.

Spiku / Lapis Legit

Nama Spiku mungkin masih terasa asing bagi sejumlah telinga orang Indonesia. Berbeda halnya jika yang kita sebut adalah ‘lapis legit’, pasti akan lebih banyak yang mengenalinya, karena nama ini yang terasa lebih familiar dan ‘merakyat’.  Kue Spiku atau lapis legit yang terkenal berasal dari Surabaya ini ternyata juga berasal dari bahasa Belanda, yaitu spekkeok,  yang berarti lapis legit. Kue ini juga merupakan salah kue yang ada dalam daftar ‘kue lebaran’ yang biasanya dihidangkan saat hari lebaran.