Catatan Menjadi Muslim Indonesia di Belanda (Part 14)

Hingga saat ini, gejolak Islamofobia masih menjadi ancaman sekaligus perkara serius yang harus (segera mungkin) diselesaikan di banyak negara di Eropa, termasuk Belanda.  Menurut Data Badan Perencanaan Sosial dan Budaya (SCP), the Netherlands Institute for Social Research, sebagaimana dirilis oleh Sipco Vellenga (2018) dalam artikelnya berjudul ‘Anti-Semitism and Islamophobia in the Netherlands: concepts, developments, and backdrops’, menyebutkan bahwa  dua pertiga Muslim (atau sekitar 65%) dari kurang lebih 900.000 umat Islam di Belanda mengalami diskriminasi.

Data European Islamophobia report di tahun 2016 pun mencatat adanya peningkatan tindakan diskriminatif anti-Muslim hingga 45 % di sepanjang tahun 2016. Sedikitnya telah terjadi 49 kasus diskriminatif terhadap masjid dan beberapa pusat penerimaan pencari suaka (muslim) di Belanda. Tidak berhenti disana, partai PVV (Partij voor de Vrijheid atau the Party for Freedom) yang dipimpin oleh Geert wilders pun terus mengkritik Islam dan Muslim tanpa kenal lelah. Partai ini menganggap Islam bukan sebagai agama tetapi ideologi jahat, sehingga partai ini terus berusaha keras untuk membatasi kebebasan beragama bagi umat Islam di Belanda, seperti: larangan membaca Alquran, larangan menggunakan syal kepala di acara-acara publik, hingga upaya penutupan semua masjid dan sekolah Islam.

Saya lihat, beberapa data diatas setidaknya menguatkan pendapat Ineke van der Valk (2015) yang dalam bukunya berjudul ‘Islamophobia and Discrimination’ menegaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, iklim opini publik di Belanda terhadap umat Islam kian memburuk. Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat orang-orang Muslim menjadi semakin terisolasi, digambarkan secara negatif, hingga ‘dicap’ sebagai musuh masyarakat. Tindakan ini sekaligus juga menjadi katalisator menguatnya Islamofobia di Belanda.

Lantas, Mengapa kondisi ini masih terus terjadi di Belanda? Faktor apa yang menyebabkan desas-desus Islamofobia masih menguat di negeri yang oleh banyak kalangan disebut sebagai negara yang ramah dan toleran ini? Sebelum membahas semuanya lebih lanjut, terlebih dahulu saya ingin memperjelas batasan definisi Islamofobia dalam tulisan singkat ini.

Terlepas dari perdebatan sengit akan definisi kata Islamofobia yang sampai saat ini masih terus dibincang banyak ahli, saya ingin mengutip pendapat the Council of Europe (2006) yang menggambarkan term Islamofobia dengan:

 ‘The fear of or prejudiced viewpoint towards Islam, Muslims and matters pertaining to them. Whether it takes the shape of daily forms of racism and discrimination or more violent forms, Islamophobia is a violation of human rights and a threat to social cohesion.’

Penjelasan diatas mempunyai arti kurang lebih:rasa takut atau berprasangka (baca:cenderung negatif) terhadap Islam, Muslim dan hal-hal yang berkaitan dengan mereka, baik itu yang berbentuk rasisme dan diskriminasi sehari-hari atau bentuk kejahatan lainya. Islamofobia adalah pelanggaran hak asasi manusia dan ancaman terhadap kohesi sosial).

Ada beberapa bentuk contoh umum dari tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari islamofobia, antara lain: Serangan merusak fasilitas masjid / vandalisme, tindakan kekerasan, ancaman, hingga terror terhadap perempuan yang menggunakan jilbab atau laki-laki yang menggunakan peci dan pakaian muslim, hingga diskriminasi di bursa tenaga kerja, misalnya: pelamar dengan ‘nama yang identik dengan Islam’ sering ditolak, juga pelecehan dan diskriminasi agama di tempat kerja (Lihat di: http://www.meldpunt-islamofobie.nl/).

Ikhtiar untuk mengikis Islamofobia di Belanda tentunya harus terus diupayakan, baik di ranah kultural maupun struktural. Menurut hemat saya, diantara langkah penting yang terlebih dahulu harus dan perlu untuk dilakukan adalah dengan memahami seutuhnya faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya gejolak Islamofobia di banyak negara di Eropa, termasuk Belanda.

PCINU Belanda, salah satu organisasi keislaman yang bertekad kurangi Islamofobia di Belanda.(Courtesy picture: nu.or.id)

Secara umum, faktor pemicu meningkatnya arus Islamofobia di Belanda tidak terlepas dari sejumlah aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah umat Islam (ekstrimis) dan mengatasnamakan agama Islam. Imbasnya, banyak kalangan menyalahkan Muslim secara umum atas apa yang telah dilakukan oleh para ‘ekstremis’ tersebut. Puncaknya, Islam kerap dilabeli dengan agama ‘teror’ dan ‘keras’ yang selalu mendatangkan wajah muram menyeramkan. Kondisi ini setidaknya terjadi di dekade 2000-an. Dimulai dari peristiwa World trade center (WTC) 9/11 di Amerika Serikat, pembunuhan Theo van Gogh (2004), Aksi bom bunuh diri di London (2005), dan serangan berdarah di Paris (2015) dan Brussels (2014, 2016).

Lebih jauh lagi, mengutip dari penelitian Sipco Vellenga (2018) dalam artikelnya berjudul ‘Anti-Semitism and Islamophobia in the Netherlands: concepts, developments, and backdrops’, saya menyimpulkan ada 3 hal penting lain yang juga menjadi penyebab munculnya Islamofobia di Belanda:

Pertama adalah faktor masyarakat yang multi-etnis dan multikultur di Belanda. Terutama munculnya agama sebagai penanda identitas dan etnis minoritas dalam masyarakat ini.  Jauh sebelum perang dunia, Belanda bukanlah sebuah negara yang bermasyarakat homogen. Namun kondisi masyarakat Belanda berubah total, pun halnya dengan keragaman etnis dan budaya menjadi lebih meningkat karena imigrasi besar-besaran pasca perang dunia Kedua. Sekitar tahun 1960-an, sejumlah besar imigran dari Turki dan Maroko juga dari bagian lain dunia datang ke Belanda, menghasilkan multi-etnis dan masyarakat multikultural. Kedatangan mereka saat itu adalah untuk menjadi pekerja/ buruh kasar di beberapa industri.

Dampaknya pun bisa dirasakan hingga saat ini; populasi masyarakat Belanda mewakili lebih dari 200 negara (kewarganegaraan) dengan jumlah umat Islam-nya diperkirakan berjumlah 900.000 jiwa, atau sekitar 5,8% dari total populasi Belanda. Turki, Maroko dan Suriname adalah negara dengan penyumbang umat Islam terbanyak di negeri kincir angin tersebut. كازينو وليام هيل Menurut catatan Graham E.Fuller dalam masterpiece-nya berjudul: ‘A world without Islam’ diantara perbedaan kualitas intelektual antara imigran yang datang ke eropa (termasuk ke Belanda) dan Amerika adalah bahwa mereka yang masuk ke Eropa saat itu lebih banyak yang berpendidikan rendah, berbeda dengan Muslim yang masuk ke Amerika, yakni memiliki latar belakang pendidikan yang sedikit lebih baik.

Oleh karena ombak besar kedatangan kaum imigran tersebut, sejak akhir 1980-an, agama semakin menjadi penanda identitas bagi dan etnis minoritas di Belanda. Warga negara Belanda yang berasal dari Maroko dan Turki kerap mendefinisikan diri mereka sendiri atau didefinisikan (disebut) oleh orang lain bukan lagi dengan sebutan etnis atau asal negara mereka, tetapi sebagai Muslim. Mudahnya, semua orang turki dan Maroko akan dilabeli sebagai Muslim. العب وربح Bagi orang Belanda, ini dapat menjadi sebuah ‘ancaman’ tersendiri bagi masa depan budaya dan populasi asli Belanda.

Faktor kedua adalah terjadinya transformasi nilai ‘citra diri nasional’ bangsa Belanda. طاولة الروليت Istilah ‘citra diri nasional’ ini mengacu pada konsep umum yang berlaku di Belanda tentang: what Dutch society is and, more importantly, what Dutch society should be. Sebagaimana catatan Vellenga, ‘Image’ Masyarakat Belanda mengalami perubahan yang cukup drastis dari nilai-nilai ‘tradisional’ yang pernah dijunjungnya, dimana masyarakat Belanda ‘kekinian’ dirasa lebih progresif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dominan, seperti kebebasan individu, kebebasan berpendapat, kesetaraan gender, kesetaraan antara heteroseksual dan homoseksual, hubungan yang sama antara anak-anak dan orang tua, dan kesejahteraan hewan.

Lebih jauh lagi, Belanda pun dianggap sebagai masyarakat yang didominasi paham sekuler, dimana warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan identitas keagamaan di ruang public. Kondisi ini tentunya membuka ‘kesempatan’ kepada siapapun untuk lebih bebas menyuarakan pendapat dan berekspresi, termasuk mengekspresikan paham dan identitas keagamaan.

Faktor ketiga berkaitan dengan tren globalisasi. Kondisi ini dapat digambarkan dengan “perluasan dan intensifikasi hubungan sosial dan kesadaran lintas waktu dunia dan tempat dunia”. Tren ini bisa kita lihat dengan pertumbuhan mobilitas dan pariwisata internasional, kebangkitan media massa, ‘revolusi Internet’, dan kemunculan media sosial. Salah satu konsekuensi dari perkembangan ini adalah semakin beragamnya pendapat dalam populasi Belanda mengenai konflik internasional, seperti konflik Israel-Palestina, konflik etnis Uighur dan Pemerintah China dan lainya. Oleh karena tren Globalisasi yang memudahkan akses informasi masyarakat tentang pelbagai informasi terkini di dunia ini, perbedaan arus sumber informasi pun akan dengan mudah terjadi, walau tidak sedikit yang mengalami distorsi. Perbedaan ragam ekspresi opini pun pada akhirnya akan banyak terjadi dan menyebabkan perbedaan warna ‘keyakinan’ dalam menilai suatu persoalan. Alhasil, tidak sedikit gesekan-gesekan kecil di ranah kultural akan berimbas dan bermuara hingga wilayah struktural.