Setiap negara tentu memiliki ciri khas tradisi dan budayanya masing-masing, tak terkecuali dengan Indonesia. Negeri dengan masyarakat yang heterogen ini, sedari dulu dikenal dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti, berbeda-beda tetapi tetap satu. Persatuan di atas keragaman ini tentu patut disyukuri dan dilestarikan, karena perbedaan adalah keniscayaan, namun bila perbedaan diterima dengan lapang dada, akan menjadi sebuah kekuatan bagi negara dan bangsa ini.

Negara itu laksana sebuah rumah sementara budaya dan tradisi laksana barang-barang yang ada di dalamnya, sudah menjadi barang tentu seseorang akan menyayangi rumah dan seisinya, bila ada yang merusaknya ia pun akan marah. Demikian pula dengan budaya, kita akan merasakan betapa berharganya budaya lokal yang kita miliki, manakala kita tengah berada di suatu tempat yang kultur dan budayanya berbeda dengan tempat kita semula, dari sana kita akan merasakan naluri mencintai tradisi dan budaya adalah anugerah yang Allah swt berikan kepada setiap individu manusia.

Bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya dan tradisi? Ada sebuah kaidah fikih yang menjelaskan:

الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمه

Artinya

Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Kehadiran Islam tentu bukan untuk menggusur atau menolak budaya lokal secara mutlak, tidak pula untuk menerimanya secara mentah-mentah, selagi dari unsur tradisi dan budaya itu tidak terdapat hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, maka bisa saja diterima dan dibenarkan.

Di antara Tradisi tahunan yang mengakar di kalangan masyarakat kita ini yaitu tradisi lebaran, agar kita bijak menyikapinya, alangkah baiknya kita selidiki dan cari dalilnya, kami di sini ingin mengulas bebrapa tradisi yang lumrah terjadi di setiap tahunnya

1. Pakaian baru

Sebelum hari raya idul fitri sebagian masyarakat kita berbondong-bondong membeli baju baru untuk dipakai di hari raya, pasar-pasar dan toko online pun turut ramai dibanjiri oleh para pembeli, tradisi saling memberi atau menghadiahkan baju baru kepada orangtua dan keluarga di hari raya sudah menjadi kegiatan tahunan.

Tradisi semacam ini bukan hanya terjadi di masa sekarang, pada masa Nabi saw sebagian sahabat juga suka melakukan hal yang sama. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa saidina Umar bin Khattab ra pernah menawarkan baju baru kepada Nabi saw untuk dipakai di hari raya juga untuk menerima tamu-tamu yang datang kepada beliau, namun Nabi kemudian menolaknya karena baju tersebut terbuat dari bahan sutera. Oleh karenanya, Imam Bukhari (194-256 H) menamai subjudul terkait riwayat ini dengan fî al-‘îdaini wa al-Tajammul fî himâ (bab tentang dua hari raya dan memperindah diri di dua hari tersebut) dengan memakai baju baru, secara langsung kita telah memperindah diri, hal ini tentu tanpa berlebih-lebihan. Ada pandangan menarik dari Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Terkait baju baru di hari raya, menurutnya memakai baju baru di hari raya adalah simbol kesucian, dengan memakai baju baru diharapkan setiap orang bisa memperbaharui imannya dan membersihkan dirinya dari dosa-dosa, juga sebagai rasa syukur kepada Allah swt, setalah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa.

2. Mudik Lebaran

Mudik lebaran adalah momentum yang tidak luput dari kegiatan tahunan, tampaknya hanya di Indonesia ada istilah mudik ini. Orang rela mengorbankan harta dan fisiknya, panas-panasan di jalan, melalui macet yang berkepanjangan, apalagi ditambah dengan harga tiket yang super mahal hingga tiga kali lipat, namun itu semua terbayar saat para pemudik sampai ke tempat tujuannya masing-masing dengan bertemu sanak saudara, kolega, dan apalagi bila kedua orangtua masih ada, tentu rasa cape akibat perjalanan jauh itu tidak terasa lagi.

Kita jangan hanya melihat mudiknya saja, tapi kita juga perlu melihat spirit dari mudik itu sendiri. Dengan mudik dapat menyambung silaturahmi, saling berbagi kebahagiaan dan pengalaman. Hal semacam ini adalah tradisi yang mengandung unsur agama, Nabi saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَام

Wahai sekalian manusia tebarkanlah salam (kedamaian), bagikanlah makanan, sambunglah tali silaturahmi, dirikanlah shalat di waktu malam saat saat orang-orang tengah asyik tidur maka kalian masuk surga dengan selamat. HR. Tirmidzi qânitât (Qs al-Nisa:34) qânituabi saw bersabda kan setiap orang bisa memperbaharui iamnnya dan membersihkan dirinya dari dosa-dosa,

Ada empat perintah Nabi saw dalam hadis ini, tiga di antaranya terdapat di mudik lebaran. Jadi, kalau kita gali spirit mudik lebaran, tentu bernuansa sunnah Nabi.

3. Halalbihalal

Tradisi tahunan yang menjadi ciri khas Indonesia pasca puasa ramadhan adalah acara halalbihalal, biasanya diadakan di sebuah tempat seperti auditorium, vila, dan tempat-tempat pertemuan lainnya dengan tujuan menyambung tali silaturahmi dan saling memaafkan satu sama lain. Acara ini pula seringkali dijadikan ajang pertemuan keluarga besar, reuni sekolahan, dan ajang perkumpulan institusi perusahaan.

Kata halalbihalal sendiri, tidak dapat dipahami secara leksikal dan juga tidak bisa diartikan ke dalam konteks hukum , namun kata harus dipahami secara budaya. Sejarah muncul istilah dan tradisi halalbihalal ini konon diprakarsai oleh seorang ulama nusantara yang bernama KH. Wahab Chasbullah. Bermula dari disintegrasi bangsa yang melanda Indonesia tiga tahun pasca kemerdekaan, ditambah dengan letupan konflik antar elite politik yang membuat mereka enggan duduk dalam satu forum untuk meredam ketegangan politik, hal ini tentu memperkeruh jalinan harmonis antar bangsa Indonesia. Oleh karenanya presiden Soekarno memanggil kiai wahab ke Istana dan berdiskusi mengenai solusinya, singkat cerita kiai wahab menyarankan agar ada suatu forum silaturahmi antar elit politik setelah lebaran, dengan harapan satu sama lain saling memaafkan tidak saling menyalahkan dan bertengkar melulu, bertengkar itu haram, makau harus dihalalkan dengan saling memaafkan.

Tradisi saling maaf-memafkan ini tentu sangat baik, sebab tujuan dari pada puasa itu sendiri untuk mencetak orang-orang yang bertakwa, sementara meredam amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah bagian dari ciri-ciri orang yang bertakwa. Firman Allah swt dalam surat Ali Imran: 134;

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

 Artinya:

Yaitu orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Tradisi lebaran yang menjadi ciri khas di Indonesia ini ternyata mengandung nilai agama dari sini tampak Islam bisa bersinergi dengan budaya dan tradisi.