Sudah dua tahun ini Yuddin menggembala. Dia mendaftar ikut dalam program Pesantren Darul I’tisham, Embo, Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan. Program ini dibuat sebagai pemberdayaan ekonomi terhadap orang tua santri miskin yang belajar di pondok pesantren. Yuddin termasuk dalam satu dari dua belas kelompok masyarakat yang bekerja sama dengan Pondok Pesantren I’tisham dalam beternak kambing.

Pimpinan Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo menuturkan, peternakan kambing memang menjadi program pemberdayaan pesantren. Pada awal usaha, kandang-kandang kambing terletak dalam lingkungan pondok pesantren ini. Ternyata usaha peternakan kambing mengalami perkembangan pesat.

Oleh karena bau kambing mengganggu aktivitas di dalam pondok seperti belajar mengajar dan lain sebagainya, maka diputuskan dalam rapat bahwa peternakan kambing itu diserahkan kepada orang tua santri. Namun, pengurus pondok pesantren harus mensurvei dan menginventarisir orang tua santri yang bersedia bekerjasama dan memiliki kompetensi untuk memelihara kambing dengan sehat. Dipilihnya ternak kambing sebagai program pemberdayaan bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan peternakan kambing merupakan salah satu sumber dana yang besar untuk operasional pondok.

Orang tua santri pun diberi modal oleh pondok pesantren untuk membuat kandang yang baik dan sehat. Kandang-kandang itu dibuat di kolong rumah maupun di halaman rumah. Ketika kandang selesai, setiap orang tua santri diberi lima ekor kambing betina dan seekor kambing jantan (seekor jantan idealnya melayani lima ekor kambing betina).

Skema bagi hasil yang disepakati yaitu anak kambing dibagi dua. Misalnya selama setahun kambing yang dipelihara oleh masyarakat dapat melahirkan sebanyak sepuluh anak kambing, maka lima ekor untuk pemelihara dan lima ekor untuk pondok pesantren.

Peternakan kambing yang diinisiasi Pondok Pesantren Darul I’tisham merupakan salah satu supplier hewan (kambing) potong. Terutama hewan kurban pada setiap Hari Raya Idul Adha di Sulawesi Selatan. Hal ini menujukkan, bahwa pondok pesantren ini telah meraih sukses dalam mengembangkan peternakan kambing dan diharapkan mampu untuk lebih meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat.

Penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan 2015 pun menunjukkan jika kabupaten ini merupakan daerah dengan pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal ketimbang kabupaten lain. Dengan Indeks Pembangunan Masyarakat hanya berkisar 59,0, tidak heran jika pemerintah pusat menetapkan kabupaten ini masuk sebagai daerah tertinggal berdasarkan PP No. 131/2015.

Rendahnya tingkat pendidikan membuat masyarakat di desa Turutea sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan baik. Alhasil, sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai buruh tani atau berkebun. Mereka terbiasa menanam padi, jagung, palawija, lombok, dan ubi kayu (singkong).

Soal agama, mayoritas penduduk Turutea dan Jeneponto merupakan pemeluk agama Islam. Mereka bahkan dicap sebagai Muslim fanatik. Meski demikian, pemahaman mereka terhadap agama belum berakar dan tumbuh dengan subur secara kaffah (total).

Tidak hanya itu, banyak kasus kekerasan terjadi di daerah ini. Judi dan sabung ayam merupakan tradisi warga yang sulit untuk diubah. Di kedai-kedai, tak jarang ditemukan warga yang asyik mabuk dengan ballo (air pohon lontar yang disimpan berhari-hari). Kebiasaan mabuk-mabukan ini pun berkorelasi dengan tingginya tingkat kekerasan dan kejahatan di daerah ini.

Pondok Pesantren Darul I’tisham hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jeneponto dengan berbagai dinamikanya. Pimpinan pondok pesantren mengajak masyarakat untuk turut serta membangun pondok pesantren melalui pendekatan persuasif-humanis berlandaskan “ukhuwah Islamiyah”.

Pihak pondok justru mencoba memahamkan kepada masyarakat bahwa kehadiran pondok pesantren ini bukan mengubah tradisi dan budaya masyarakat. Namun, untuk membangun dan memperbaiki kehidupan sosial ekonomi melalui berbagai kegiatan pemberdayaan umat. Pemberdayaan ekonomi dilakukan pihak pesantren dengan tetap berpegang teguh kepada prinsip bahwa pondok pesantren ini harus mampu membumikan ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya kepada masyarakat.

Buah Keuletan Sang Kiai

Berawal dari sebuah panti asuhan, Pondok Pesantren Darul I’tisham kini tampil dengan wajah baru yang cantik. Pesantren ini merupakan buah dari keuletan dan ketekunan KH. Kamaluddin Sukku, perintis, pendiri, dan pemimpin pertama pondok. Dalam kepemimpinannya, sang kiai berhasil mengantarkan pondok pesantren ini mencapai “puncak kejayaannya”. Tangan dingin sang ayah pun turun kepada Kiai Kamaluddin. Dia dikenal sebagai kiai “kharismatik” yang sudah malang-melintang dalam dunia pondok pesantren.

Kiai Kamaluddin lantas merintis pesantrennya sendiri. Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo akhirnya didirikan pada 1999 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Al-Mutammim pimpinan KH. Kamaluddin Sukku. Pondok pesantren ini telah terdaftar di Kementerian Agama Kab. Jeneponto dengan Nomor Izin Operasional: 291 Tahun 2015.

Di bawah kendali kepemimpinan KH. Kamaluddin Sukku, Pondok Pesantren Darul I’tisham telah berhasil membangun fondasi tafaqquh fiddin yang kokoh. Penguatan karakter pondok pesantren ini diraih melalui pengajian berbagai kitab kuning yang diselenggarakan setiap sore dan malam hari. Selain itu, sang kiai telah memprogramkan secara sistematis dan konsisten berbagai upaya untuk memberdayakan ekonomi umat, antara lain: melalui pertanian, perkebunan, dan peternakan. Juga, melalui berbagai aktivitas vocational bagi santri.

Pendidikan Gratis

Sejak berdiri sampai sekarang, Pondok Pesantren Darul Itisham memprioritaskan anak yatim-piatu, anak miskin, anak telantar, bahkan anak jalanan untuk diterima sebagai santri. Pada umumnya masyarakat memiliki “animo” yang kuat untuk memasukkan putra-putrinya belajar di pondok pesantren ini. Sebab, pondok pesantren ini sejak berdiri sampai sekarang dan yang akan datang telah memiliki komitmen kuat bahwa seluruh santrinya bebas dari segala macam bentuk iuran pendidikan (belajar gratis).

Pondok Pesantren Darul I’tisham selama ini menyelenggarakan berbagai jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Namun, dari jumlah santri tersebut “sebagian besar” belajar pada pendidikan formal yang terdiri dari MI 347 orang (24 persen), MTs 408 orang (29 persen), dan MA 254 orang (19 persen). Menurut pimpinan pondok pesantren ini, keberadaan pendidikan formal di sini tetap berbasis pondok pesantren. Pesantren ini pun menyelenggarakan jalur pendidikan non formal, seperti: TPA, RA, Salafiyah (Pendidikan Diniyah ‘Ula dan Wustha’), Diniyah Takmiliyah, Program Paket C dan lain sebagainya.

Kini pondok pesantren ini sedang menuju puncak “kejayaannya”, terutama dalam memberikan layanan pendidikan baik kepada santri maupun masyarakat. Semua layanan pendidikan ini bermuara kepada memberdayakan umat, baik dari aspek ekonomi maupun keagamaan. (RMF)

*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Abdul Muin M. yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2017.

*) Sumber : iqra.id


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *