Petuah Diaspora: Menjaga Identitas Indonesia di Amerika
Amerika, Santri Mengglobal - “Al-barkatu ma’a akabirokum” (keberkahan itu bersama orang-orang tua di antara kalian). Demikianlah kurang lebih bunyi hadis yang disampaikan Nabi Muhammad S.A.W. dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban. Dalam hadits tersebut, kita diajarkan untuk memuliakan orang tua. Orang tua yang dimaksud bisa jadi lebih tua usianya, lebih dalam ilmunya, atau lebih kaya pengalamannya. Hikmah dari pengalaman mereka tentu sangat bermanfaat bagi generasi muda.
Pada tanggal 9 November 2024, kami, 20 orang peserta program Micro-Credential 2024, diundang ke kediaman Bapak Iskandar Danoesubroto, Imam di KJRI Chicago, alumni Northeastern University di Boston, sekaligus pensiunan CEO salah satu perusahaan komunikasi terbesar di Indonesia.
Acara tersebut adalah kegiatan ramah tamah dan pengajian yang diisi oleh salah satu peserta program ini, K.H. Herdiansyah, Lc., M.A., alumni Cadi Ayyad University of Marrakech, Maroko, sekaligus pimpinan Pesantren Darul Muttaqien, Tembilahan, Riau.
Selain Pak Iskandar dan Kiai Herdiansyah, dua sesepuh masyarakat diaspora di Chicago juga memberikan nasihatnya, yaitu Pak Joko dan Pak Prabowo. Nama keduanya tentu sangat familiar, karena mirip dengan nama Presiden ke-7 dan Presiden ke-8 Republik Indonesia.
Pak Joko, yang memiliki nama lengkap Joko Supriyanto, menyampaikan tiga pesan berharga kepada hadirin saat itu. Pesan pertama, beliau menekankan pentingnya regenerasi—mempersiapkan pemuda yang mau dan berani merantau untuk belajar. Beliau mengutip ayat dalam surat Al-Imran ayat 137: “Fasiiruu fil ardhi fandzuru kaifa kaana ‘aqibatul mukadzibin” (Berjalanlah di muka bumi, dan lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan).
Tokoh kelahiran Ngawi yang juga Ketua Pengajian WNI Chicago ini bercerita bahwa awal mula beliau merantau ke Amerika adalah untuk bekerja sebagai profesional di perusahaan. Namun, seiring waktu, beliau menyadari bahwa peluang di Amerika bukan hanya bekerja, tetapi juga berdakwah. Ladang dakwah di Amerika Serikat, menurutnya, sangat terbuka. Oleh karena itu, beliau kerap mengundang para dai dan ulama ternama dari Indonesia untuk berdakwah di sana.
Pesan kedua, beliau menekankan pentingnya memiliki mindset “ act globally, think locally ,” kebalikan dari yang sering kita dengar, yaitu “ act locally, think globally .” Artinya, meskipun para perantau tinggal jauh dari tanah air, ilmu yang diperoleh di luar negeri harus dimanfaatkan untuk membangun daerah asal, khususnya, dan Indonesia, pada umumnya.
Pesan ketiga dari Pak Joko, yang saat ini bekerja sebagai tenaga profesional di Northwestern Mutual, Wisconsin, adalah pentingnya menanamkan nilai kolaborasi, bukan kompetisi, kepada para pemuda.
Beliau mencontohkan pesantren Salafiah Syafi’iyah Situbondo, tempat asal salah satu peserta program, Lora Kholil Abdul Jalil. Pesantren tersebut berhasil berkembang pesat dengan berkolaborasi bersama masyarakat dan lembaga sekitar, sehingga kini memiliki lebih dari 25.000 santri. Hal ini, menurut beliau, adalah pencapaian yang luar biasa.
Petuah berikutnya disampaikan oleh Pak Prabowo, yang akrab disapa Pak Bowo (nama lengkap: Prabowo Wurjadi). Secara usia, beliau sejajar dengan Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, yaitu 77 tahun, dan lebih tua dari Presiden Prabowo Subianto, yang baru berusia 73 tahun. Meskipun begitu, beliau masih sangat enerjik dan sehat.
Sebagai pensiunan pegawai KJRI, Pak Bowo berbagi pengalaman uniknya saat pertama kali datang ke Amerika pada tahun 1980-an. Salah satu ceritanya adalah ketika orang Amerika terkejut saat mengetahui bahwa beliau memiliki empat anak.
Mereka bertanya: “ With one wife? ” Pak Bowo menjawab, “ Yes! ” Hal serupa juga dialami istrinya, Bu Ana, yang ditanya, “ With one husband? ” Jawabannya yang sama membuat orang Amerika kagum karena budaya nikah-cerai di sana cukup lazim.
Dari pengalaman tersebut, Pak Bowo berpesan kepada para pemuda untuk tetap mempertahankan budaya Indonesia di mana pun berada. Beliau sendiri hingga kini masih fasih berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa Jawa dan Sunda, meskipun sudah lebih dari 40 tahun lebih tinggal di Amerika.
Semoga, sebagai generasi penerus bangsa, kita dapat terus belajar dari orang tua, para tokoh, dan senior yang lebih dahulu menjalani kehidupan ini. Kita percaya bahwa keberkahan ada bersama mereka, sebagaimana sabda Rasulullah: “ Al-barkatu ma’a akabirokum .”
Edi Setiawan, M.Pd., Peserta program Micro-Credential (2024), Chicago, Amerika Serikat. Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan lembaga pendidikan di Chicago selama dua bulan.***(Edi Setiawan, M.Pd)