Sosrokartono merupakan manusia Polyglot pertama di Indonesia, anak Indonesia pertama yang kuliah di Belanda, manusia Indonesia pertama yang menjadi wartawan perang dalam Perang Dunia I, manusia Indonesia pertama yang menjadi atase kebudayaan Perancis di Belanda dan manusia Indonesia pertama yang bekerja sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) di Swiss. Dengan gajinya yang besar saat menjadi orang penting di Eropa itu, Bung Hatta bilang, Sosrokartono sesungguhnya bisa menjadi seorang miliader. Namun kenyataanya, ia memilih pulang ke Indonesia untuk mengabdi pada negara.

Seorang Polyglot
Sejak sekolah di HBS Semarang, Sosrokartono memang sudah memiliki minat yang besar untuk mempelajari bahasa, tidak hanya bahasa Belanda yang yang menjadi bahasa resi di HBS, tetapi juga bahasa-bahasa asing lainnya seperti Perancis, Jerman, Latin, Tiongkok dan Sansekerta. Dikenal sebagai seorang Polyglot, Bung hatta mengatakan bahwa Sosrokartono telah menguasai 17 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Sosrokartono telah menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa lokal Nusantara. Dan ada juga yang mengatakan ia menguasai 26 bahasa asing dan 10 bahasa lokal di Nusantara. Penguasaan Sosrokartono terhadap beragam bahasa itu sesungguhnya merupakan hasil dari belajar ototidak. Pasalnya saat di Jepara, yang diajarkan guru-gurunya adalah Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa. افضل موقع مراهنات كرة القدم Sebagai anak bangsa yang menguasai banyak bahasa asing, Ssorokartono disebut sebagai manusia Polyglot pertama di Indonesia.
Guru dan Inspirator R.A Kartini

Semasa hidupnya Sosrokartono memiliki perhatian besar terhadap adik perempuanya, R.A. Kartini. Sebab keduanya memiliki Chemistry yang sama. Sebelum berangkat ke Eropa, Sosrokartono sering mengajari Kartini berbagai ilmu, termasuk bahasa Belanda dan Melayu. Selain itu, Sosrokartono juga memberi pelajaran kepada Kartini mengenai seluk beluk budaya Jawa. Kemjuan pemikiran Kartini sehingga dirinya juga pandai menguasai bahasa Belanda dan mengenal wacana-wacana ilmu pengetahuan modern, salah satunya karena terinspirasi oleh sang kakak genius itu. Buku-buku yang dibaca Sosrokartono juga telah dberikan kepada Kartini untuk dipelajari. Buku-buku yang terbilang sulit akan dibaca Kartini hingga dua sampai tiga kali dan kalau belum bisa memahaminya, maka akan ditanyakan kepada Sosrokartono.

Ketika Sosrokartono di HBS Semarang, ia tetap memanta dan memerhatikan Kartini. Ia sering menyisihkan uang sakunya untuk membelikan buku-buku dan kemudian dikirimkan ke Kartini di Jepara. Buku-buku itu digunakan untuk mengembangkan dan memperkaya wacana pengetahuan, peneguhan karakter, dan kepribadian serta menyalakan semangat perjuangan Kartini. Pasalnya, setelah lulus dari ELS Jepara, ketika usia baru mencapai 12,5 tahun, Kartini, oleh adat-istiadat Jawa yang masih feodal dan jumud saat itu, kartini harus masuk ke dalam kamar pingitan sampai ada yang meminangnya, dan karena itu ia tidak bisa lagi melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi seperti kakanya, Sosrokartono.

Pengembaraan Intelektual ke Eropa
Pada tahun 1897 Sosrokartono berhasil lulus dari HBS Semarang dengan hasil yang sangat memuaskan. Hasil tulisanya dalam ujian akhir yang menggunakan bahasa Jerman muncul sebagai karya terbaik dan karenanya dibacakan di HBS Batavia sebagai motivasi bagi siswa-siswi lainya. Atas prestasi dan kecerdasanya itu, sejumlah pihak, utamanya Tjondronegoro IV ( kakek Sosrokartono) yang saat itu masih menjadi bupati Demak dan beberapa kerabat mendorong Ayah Sosrokartono agar memberikan kesempatan kepada Sosrokartono untuk melanjutkan studi ke Belanda. Atas saran itu, pada akhir abad ke 19 dengan usia 20 Tahun, Sosrokartono melakukan pengembaraan intelektual ke Negeri Belanda, sebuah negeri yang saat itu masih menjadi penjajah bangsanya. Bisa melanjutkan studi ke luar negeri, utamanya Eropa merupakan suatu prestasi yang sangat luar biasa pada saat itu. Atas capaian ini, Sosrokartono tercatat sebagai anak Indonesia pertama yang sekolah ke Negeri Belanda sebelum Hatta, Syahrir, Tan Mala, Husein Djajadiningrat dan anak-anak Indonesia lainya menyusul studi ke Belanda. روليت اون لاين للايفون
Awal kuliah di Belanda Sosrokartono mengambil jurusan Teknik Sipil, Polytechnisce School di Delft. Namun ia hanya bertahan selama dua tahun di Politeknik Deflt itu. Sebab, Sosrokartono lebih tertarik dengan filsafat dan kesusastraan Timur. Akhirnya ia memutuskan keluar dari jurusan teknik dan masuk ke Fakultas Sastra Timur Universitas Leiden. Di Leiden inilah Sosrokartono semakin bersemangat dalam belajar karena sesuai dengan minat dan bakatnya. Meskipun ia sebagai satu-satunya mahasiswa dari Jawa yang belajar di Universitas Leiden. Sejak awal-awal di Leiden, Sosrokartono langsung terkenal menjadi mahasiswa yang berotak cemerlang. Ia menunjukkan kemampuanya yang luar biasa dalam masalah bahasa dan sastra, hingga ia berhasil menguasai berbagai bahasa asing lainnya.

Sebelum Willem Rooseboom berangkat ke Hindia Belanda untuk menggantikan Jhr. C.H.A. Van wijck sebagai Gubernur Jendral untuk Hindia Belanda, Sosrokartono menemuinya untuk menyampaikan aspirasi bagi bangsa pribumi. Hal yang paling ditekankan Sosrokartono adalah soal pendidikan bagi warga pribumi, khususnya yang ada di Jawa. Sosrokartono menuntut Rooseboom supaya benar-benar memperhatikan pendidikan warga pribumi. Dalam kaitan ini Sosrokartono mengusulkan supaya warga pribumi diberikan pendidikan bahasa Belanda agar bisa membaca buku-buku yang ada di Hindia Belanda, mengingat buku yang tersebar sebagian besar berbahasa Belanda. Penyampaian aspirasi ini, bagi Sosrokartono yang masih usia muda tentu merupakan sebuah langkah yang berani.

Satu bulan setelah bertemu Roosboom, Sosrokartono diundang untuk menyampaikan pidato di Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke 25 di Gent, Belgia. Dalam pidatonya, ia menyuarakan hak-hak warga bumiputera di Hindia Belanda yang tidak diperhatikan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Pidatonya di forum ini sekaligus ia jadikan sebagai ajang untuk menyampaikan tuntutan terhadap pemerintah Belanda agar benar-benar memperhatikan kondisi masyarakat bumiputera, khususnya masalah pendidikan. Selain itu, ia juga membela habis-habisan tradisi dan budaya bangsanya di tengah kuatnya arus imperialisme asing (Belanda). Ia dengan tegas menyatakan “ Selama matahari dan rembulan masih bersinar, saya akan terus menantang dan menjadi musuh dari siapapun, dari bangsa dan etnis apapun. Yang hendak membuat bangsa Bumiputera menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa. Saya dengan tegas akan menjadi musuh bagi mereka yang mencoba menginjak-injak, menistakan dan merendahkan tradisi dan budaya bangsa bumiputera yang luhur dan suci.”

Dari pidatonya ini, Sosrokartono mencerminkan seorang patriotik yang menyuarakan bahwa keluhuran tradisi dan budaya sebuah bangsa mesti dipertahankan orang-orang pribumi di mana saja berada. Meski hidup di Eropa, harus tetap menjadi manusia yang berkepribadian Jawa, bukan Eropa atau setengah Eropa. Pidato yang disampaikan oleh Sosrokartono ini mencatat dirinya sebagai putera Indonesia pertama yang menyulut api perjuangan di jantung kolonialisme yang getaranya telah sampai di tanah air. Sosrokartono jelas mengutuk keras praktik kolonialisme dan imperialisme di tanah air.

Pada tahun 1901, Sosrokartono berhasil lulus dengan cepat sebagai sarjana muda. Atas prestasinya ini dan mengusai banyak bahasa, Sosrokartono dipercaya sebagai anggota Institut Voor Labden Volkenkunde, sebagai institusi penelitian yang fokus melakukan riset terhadap kebudayaan suku bangsa Nusantara. Selain itu, ia juga tergabung sebagai anggota tim redaksi surat kabar “ Bintang Hindia”. Dalam pandangan Sosrokartono, surat kabar ini secara diam-diam telah menyebarkan semangat nasionalisme di tanah air. Di surat kabar inilah Sosrokartono mulai menuliskan tulisan yang berisi semangat nasionalisme di tanah air dan terus menggelorakan nasionalisme kepada masyarakat Bumiputera. الروليت اون لاين
Cerita bersambung…..!!!

Oleh Muhammad Alvin Jauhari*

*Penulis adalah Alumni IICS 2019, Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Sunan Ampel Surabaya, Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya, Alumni Pesantren Tebuireng & Madrasah TBS Kudus.

Kategori: Tokoh

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *