Oleh : M. Toyfur (Alumnus Program Studi Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang)

Hilal dan Ramadan

Tak terasa kurang dari satu bulan lagi umat Muslim akan menghadapi bulan istimewa, dimana perbuatan baik akan dilipatgandakan pahalanya, tadarrus Al-Qur’an berkumandang setiap waktu, dan tentu saja sahur dan berbuka akan menjadi rutinitas dalam menjalani ibadah puasa, oleh karena itu kita perlu menyambut ramadhan dengan mengetahui kapan datangnya bulan yang penuh berkah tersebut.

Ramadan tahun ini mungkin akan terasa berbeda dari tahun tahun sebelumnya, karena seluruh dunia khususnya Indonesia sedang mengalami pandemik Corona virus atau Covid-19, namun hal itu tidak menyurutkan niat bagi umat muslim untuk melakukan ibadah dengan memperhatikan prosedur penanganan virus dan arahan yang diberikan oleh Ulama dan otoritas setempat.

Secara umum, Puasa atau dalam Bahasa arab disebut Ash-Shoum ((الصوم artinya menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari, Adapun Puasa Ramadhan dimulai ketika bulan sya’ban berakhir ditandai dengan rukyatul hilal, hal ini didasarkan pada Hadits Nabi Muhammad SAW:

صوموا للرؤية و افطروا للرؤية فان غاب عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)

Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (H.R Al-Bukhori)

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa untuk menentukan puasa Ramadhan adalah dengan cara rukyatul hilal atau mengobservasi bulan baru pada tanggal 29 Sya’ban, apabila hilal tidak terlihat atau tertutup mendung, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.

Menurut hadist di atas jelas dikatakan bahwa ketentuan untuk memulai puasa Ramadan adalah dengan melakukan rukyatul hilal. Namun secara praktis kalimat ini dapat ditafsirkan dengan berbagai macam cara diantaranya adalah rukyat bil ilmi atau biasa disebut dengan hisab, artinya rukyatul hilal tidak dilakukan dengan cara melihat langsung, namun dengan cara menghitung kemunculan hilal pada tanggal 29 sya’ban menggunakan ilmu falak atau astronomi, di Indonesia konsep ini diamalkan oleh Muhammadiyah dengan istilah wujudul hilal, penafsiran lain dari rukyatul hilal adalah melakukan pengamatan atau observasi secara langsung dengan mata, atau rukyat bin nadhor, di Indonesia konsep ini dipakai oleh Nahdlatul Ulama’, ada pula penafsiran lainnya yaitu hisab imkan rukyat, atau perhitungan kemungkinan hilal dapat dilihat, di Indonesia konsep ini dipakai oleh Kementerian Agama RI dengan pengesahan Sidang Isbat.

Dari perbedaan penafsiran diatas sejatinya memiliki kesamaan yaitu menanti datangnya hilal, meski proses yang dilakukan adalah dengan pendekatan metode yang berbeda, dari sinilah akan muncul perbedaan dalam penafsiran, hal inilah yang membuat metode penentuan awal bulan Ramadhan di Indonesia sangat beragam, karena selain metode diatas, masih banyak metode penentuan awal bulan ramadan lainnya seperti yang dilakukan oleh Jamaah An-Nazir di Makassar dengan cara menggunakan pasang surut air laut, namun dengan bermacam-macam metode ini seharusnya Indonesia memiliki otoritas tunggal yang bisa disepakati oleh semua pihak yang melakukan rukyat dengan metode masing-masing, sehingga meski metode yang digunakan berbeda, namun sebagai satu wilayatul hukmi yaitu negara Indonesia harus memiliki kesamaan, apalagi terkait dengan Ibadah Puasa.

Kemungkinan Awal Ramadan 1441 H di Indonesia

Pada Tulisan kali ini, penulis akan memaparkan tentang kemungkinan terjadinya Awal Ramadan 1441 H yang semoga saja dalam praktiknya semua pihak di Indonesia akan memiliki hasil yang sama, berdasarkan hasil data Ephemeris Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, Ijtima’ atau Konjungsi awal bulan ramadan akan terjadi pada hari kamis tanggal 23 April 2020 jam 02:26 UT atau 09:26 WIB sehingga ketinggian hilal awal bulan ramadan saat terbenam matahari di Indonesia adalah mulai dari 02°42’ (02 derajat 42 menit) hingga 03°45’ ( 03 derajat 45 menit) diatas ufuk. Meski banyak metode hisab atau perhitungan untuk menentukan awal bulan ramadan, baik dengan metode taqribi, tahqiqi hingga kontemporer, hasil dari perhitungan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI.

Kondisi seperti ini memungkinkan terjadi perbedaan, karena ketinggian hilal yang berada pada kondisi diatas ufuk namun tidak terlalu tinggi, namun karena kondisi seperti diatas telah memasuki kriteria dari berbagai macam metode yang digunakan oleh berbagai macam pihak seperti NU dengan metode Rukyatul Hilal bin Nadhor, kondisi seperti ini memungkinkan untuk di rukyat karena dalam beberapa bulan ramadan yang telah berlalu dengan kondisi seperti ini dari organisasi NU dapat melaporkan kesaksian dalam melihat hilal, kondisi seperti ini juga memungkinkan bagi Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab wujudul hilal, konsepnya adalah ketika tanggal 29 Sya’ban ketinggian hilal sudah berada diatas ufuk 0° (0 derajat), maka diputuskan bahwa besoknya sudah memasuki awal bulan Ramadan, bagi Kementerian Agama RI yang mengikuti konsep Hisab Imkan Rukyat hal ini telah mamasuki kriteria yang telah ditetapkan oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) pada tahun 1992 yaitu ketinggian minimal 2 derajat, elongasi minimal 3 derajat atau umur hilal adalah minimal 8 jam, maka dari ketiga metode ini maka akan memungkinkan memiliki kesepakatan yang sama.

Ada juga kriteria baru yang dikeluarkan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) yang diwakili oleh Prof. Thomas Jamaluddin yang diikuti oleh Persis (Persatuan Islam) yaitu ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat, meski secara ketinggian telah memenuhi standar, namun pada elongasinya belum memasuki standar yang telah ditentukan, meski demikian menurut Prof Thomas Jamaluddin tetap mengikuti otoritas yang secara sah menentukan awal bulan Ramadan, yaitu Pemerintah oleh Kementerian Agama RI untuk kepentingan maslahat umat, dengan demikian maka kemungkinan awal bulan Ramadan akan dilaksanakan secara serentak pada hari Jum’at, tanggal 24 April 2020, dan Shalat Tarawih dapat dimulai pada malam Jum’atnya, namun kita juga perlu menanti keputusan yang diambil oleh Kementerian Agama RI melalui Sidang Isbat yang akan dilaksanakan pada Kamis sore, 23 April 2020. Langkah ini merupakan langkah musyawarah bersama dengan berbagai pihak yang melakukan rukyatul hilal dengan berbagai macam metode di Indonesia.

Info Awal Bulan Ramadan 1441 H secara Global

Secara garis besar, penentuan awal bulan ramadan di seluruh dunia saat ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Pertama Metode Lokal, yaitu metode penentuan awal bulan ramadan yang dilakukan oleh suatu wilayatul hukmi atau negara itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Iran, Kenya, Libya, Maroko, Mesir, Oman, Pakistan, Thailand dan lain sebagainya, Kedua Mengikuti Arab Saudi, artinya penentuan awal bulan ramadan mengikuti keputusan yang ditetapkan oleh Arab Saudi, adapun Arab Saudi menentukan awal bulan Ramdan dengan cara Rukyatul Hilal bin Nadhor, negara yang mengikuti ketetapan Arab Saudi diantaranya adalah Afganistan, Azerbaijan, Bahrain, Iraq, Jordania, Kazakhstan, Kuwait, Lebanon, Palestina, Qatar, Singapura, Sudan, Syiria, Yaman, dll, Ketiga Negara yang mengikuti Kriteria ketetapan Turki, kriteria yang ditetapkan oleh Turki adalah ketinggian minimal 5° dan elongasi minimal 8° yang dapat dirukyat dimana saja baik dengan mata maupun alat bantu seperti teleskop, adapun negara yang mengikuti ketetapan Turki adalah Angola, Bosnia, Croatia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, Serbia,dan Slovania, tercatat pada situs https://www.moonsighting.com/1441rmd.html, jumlah negara yang menetapkan awal bulan Ramadan dengan cara lokal ada 58 Negara, mengikuti Arab Saudi ada 50 Negara dan mengikuti Turki ada 9 Negara, dan Negara yang tercatat pada situs tersebut adalah berjumlah 117 Negara.

Adapun di benua Eropa, penetetapan awal bulan Ramadan ada yang mengikuti ketetapan Arab Saudi seperti Belgia, Denmark, Finlandia, Italy, Belanda, Norwegia, Romania, UK, dll. Ada pula yang menggunakan metode lokal dengan fatwa dari ECFR atau European Council for Fatwa and Research seperti Perancis, Jerman, Irlandia dll. Di Afrika dan Asia Barat yang dekat dengan Arab Saudi akan mengikuti ketetapan Arab Saudi sementara yang lain menggunakan penentuan lokal seperti di Mesir, dan secara garis besar di negara lain di Asia yang mayoritas Muslim menggunakan sistem lokal seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dll, sementara yang lain mengikuti Arab Saudi dan di Benua Amerika penetapan awal bulan Ramadan menggunakan sistem lokal (hisab), hal ini dikarenakan letak geografisnya yang jauh dari Arab Saudi. Namun dengan perbedaan metode tersebut, kemungkinan besar awal bulan Ramadan tahun ini akan dimulai serentak pada Jum’at, 24 April 2020.


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *