Dalam banyak literatur fikih, pengertian puasa adalah menahan makan, minum, berhubungan intim suami-istri dari waktu fajar (subuh) hingga terbenam matahari (magrib), disertai niat yang tulus karena Allah swt. Mulai diwajibkan bagi umat Islam pada tahun ke dua hijriah.

Ada enam macam puasa wajib;

  1. Puasa Ramadhan
  2. Puasa Qadha, yakni bila ada orang yang tidak mampu puasa di bulan ramdhan karena ada udzur. Seperti sakit, dalam perjalanan, melahirkan, dan haidh.
  3. Puasa kafarat; seperti wajib puasa dua bulan berturut-turut bagi yang berhubungan suami-istri di siang hari pada bulan ramadhan.
  4. Puasa nadzar. Yaitu puasa yang didasari janji kepada Allah
  5. Puasa dalam ibadah haji dan umroh, sebagai ganti dari penyembelihan hewan untuk fidyah.
  6. Puasa untuk istisqa (shalat meminta hujan) jika diperintahkan oleh pemerintah.

Selain dari enam macam puasa tersebut hukumnya sunnah, demikian yang diuraikan oleh Habib Hasan bin Ahmad al-Kaf dalam kitab fikihnya al-Taqrirat al-Sadidah[1].

Puasa Umat Terdahulu

Allah swt berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS Al Baqarah:183)

Di sini kami hendak menyoroti kalimat كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ (sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian), Yang menjadi pertanyaan di sini, siapa yang dimaksud dengan “orang sebelum kalian” itu? apakah puasa umat-umat terdahulu juga sama dengan puasa yang kita lakukan saat ini? Dalam hal ini, Sekurang-kurangnya ada dua pendapat;

Pertama, berdasarkan riwayat Imam Ibnu Abi Hatim (w 327 H) yang dimaksud dari umat terdahulu adalah umat Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Dari pendapat ini, menurut beliau, puasa pertama kali dipraktekkan oleh Nabi Nuh as. Konon mereka berpuasa tiga hari tiap setiap bulan, dimulai dari malam hingga tiba malam lagi. Puasa tersebut terhitung setelah mereka tidur.

Apabila pada malam hari mereka belum tidur, mereka diperbolehkan makan-minum dan melakukan berbagai aktifitas lainnya yang dilarang ketika puasa. Namun jika mereka telah tidur walaupun di sore hari dan terbangun pada malam harinya, mereka tetap tidak diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan suami karena puasa mereka dimulai “ketika tidur”. Puasa seperti ini juga dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya pada awal masa Islam.

Kedua, yang dimaksud “umat terdahulu” berdasarkan tafsir Ibnu Katsir adalah ahlu al-kitab, yakni Yahudi dan Nashrani[2]. Bagi kedua agama ini diwajibkan pula puasa ramadhan, hanya saja mereka tidak makan sahur sementara kita umat Islam dianjurkan makan sahur, itulah yang membedakan puasa umat Islam dan umat Yahudi-Nashrani. Tak heran jika kita sering mendengar hadis yang berbunyi;

فَصْلُ مَابَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامُ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Artinya: “Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim)

Mengenai hadis ini, menurut al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi, perbedaan puasa ini agar umat Islam tambah bersyukur dengan adanya sahur, yang menjadi kenikmatan dan juga sebagai tambahan kekuatan fisik agar di siang hari tidak merasa payah.

Setelah melihat dua pendapat tersebut, ternyata kewajiban puasa atas umat-umat terdahulu memiliki beberapa perbedaan tatacara dengan puasa kita saat ini. Namun demikian, tujuan dan substansinya sama, yakni membentuk pribadi insan yang bertakwa dengan menahan semua yang dapat merusak ibadah puasa. Dengan demikian, menurut Prof. M. Quraish Shihab diharapkan orang yang berpuasa dapat terhindar sanki dan dampak buruk (hawa nafsu) baik di dunia maupun di akhirat. Di sini penulis hendak menguraikan dua pendapat saja.

Berubah Menjadi Ringan

Dua gambaran puasa umat terdahulu tersebut, jika masih berlaku hingga sekarang tentu akan membebani dan menyulitkan kita. Bisa dibayangkan jika tidak ada makan sahur, ditambah dengan tidak diperbolehkannya makan, minum, dan berhubungan suami istri di malam hari bila sebelumnya tidur atau ketiduran, akan banyak kaum muslimin yang merasa payah bahkan merasa tersiksa.

Bagaimana kewajiban puasa ini berproses hingga menjadi ringan seperti saat ini? Ada makan sahur, dan diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan suami-istri pada malam hari. Jika kita hendak melihat tafsir Ibnu Katsir kewajiban puasa itu mengalami tiga proses;

Proses pertama, ketika Nabi saw tiba di Madinah, Nabi saw puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa pada hari Asyura, kemudian Allah menurunkan surat al-Baqarah: 183-184, saat itu umat Islam diberikan pilihan, bagi yang sanggup berpuasa baginya berpuasa, bagi yang tidak sanggup berpuasa baginya membayar fidyah, yakni dengam memberi makan satu orang miskin di setiap harinya. Akan tetapi, berpuasa lebih baik dari pada sekedar memberi makan fakir miskin

Proses kedua, turun ayat berikutnya, Al-Baqarah:185, yang berbunyi

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (QS: Al-Baqarah:185)

Saat itu, puasa secara mutlak diwajibkan pada bulan ramadhan bagi yang telah baligh, mukim, dan sehat. Bagi yang sedang bepergian dan sakit diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya di bulan lain, bagi yang tidak sanggup lagi berpuasa karena udzur, seperti orang yang telah lanjut usia, boleh diganti dengan membayar fidyah.

Proses ketiga, adalah proses diperbolehkannya makan, minum, dan berhubungan suami istri di sepanjang malam bulan ramadhan hingga subuh, yang sebelumnya tidak diperbolehkan. Hal ini bisa kita lihat dalam riwayat sejarawan muslim kenamaan, Abu Ishaq, beliau menuturkan Qais bin Shurmah al-Anshari adalah seorang petani, ia bekerja di ladang dalam keadaan berpuasa, hingga ketika sore hari ia pulang lalu sholat Isya’ dan tertidur karena kelelahan dalam keadaan belum makan dan minum. Malam harinya ia terbangun, karena ia sudah tidur, maka tetap diwajibkan atasnya puasa meski belum makan dan minum. Esok paginya kembalilah ia bekerja di ladang. Karena perutnya kosong dan belum terisi apa-apa, ia jatuh pingsan hingga ia ramai dibicarakan.

Setelah kejadian ini, turunlah ayah berikutnya, surat Al-Baqarah: 187. Sejak saat itu berlaku praktek puasa seperti puasa kita saat ini, yakni dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Pada malam harinya kita dibebaskan untuk maka, minum, dan memenuhi kebutuhan biologis.

Begitu ringannya puasa yang kita jalankan saat ini dibandingkan dengan puasa-puasa umat terdahulu, namun masih saja banyak yang mencari alasan untuk tidak berpuasa, padahal dirinya sehat dan tidak bepergian jauh. Semoga kita diberikan kekuatan untuk menjalankan ibadah puasa ini.


Tulisan ini termabil dari buku 30 Hari Menuju Takwa, yang ditulis oleh Diki Ramdani, dkk.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *