Depok, Santri Mengglobal – Dalam rangka menyemarakkan momentum Hari Santri Nasional 2023 yang bertema “Jihad Santri Jayakan Negeri”, Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok menggelar seminar bertajuk, “Islam dan Feminisme : Memperjuangkan Ruang Aman bagi Perempuan”. Seminar ini digelar untuk mempertemukan argumen pro dan kontra terhadap gerakan feminis. 2 akademisi yang dihadirkan dalam seminar ini, Dr. Dinar Dewi Kania, M. M., M. Sos., dan Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Minggu, (22/10/2023).

Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam II Depok, H. M. Yusron Shidqi meminta santri jangan alergi terhadap pro-kontra “Tijarul mu’aqis, yakni tarik menarik antara pro dan kontra itulah yang membuat kutub moderasi. Saya minta mahasiswa jangan alergi terhadap adanya pro dan kontra. Hanya nabi dan rasul lah yang tidak pernah salah karena wa maa yantiqu ‘anil hawa. Para ulama memahami ada teks, konteks, dan realitas. Pendapat manusia dipengaruhi oleh kondisi, bacaan, juga pengalaman intensif yang dialami.

Kita harus tau ada kondisi-kondisi aman ada juga kondisi yang tidak aman. Lingkungan, pengalaman, dan bacaan itu akan mempengaruhi pikiran dan subjektifitas ulama’. Subjektifitas yang dikumpulkan dan didiskusikan akan menghasilkan objektifitas. Setiap perbedaan memiliki peran masing-masing yang melahirkan kolaborasi keseimbangan dalam hidup,” ujar Gus Yusron dalam sambutannya saat momentum Hari Santri Nasional 2023 di Pesantren Mahasiswa dan Pesantren Mahasiswi Al-Hikam II Depok, Jawa Barat.

Gus Yusron menggarisbawahi apa yang pernah dikatakan oleh Imam Syafi’i, “Pendapat saya benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat yang lain salah, tapi ada kemungkinan benar,” dan menambahkan, “menjenguk pendapat orang lain membuat kita menjadi bijak.”

Dr. Dinar Dewi Kania, M. M., M. Sos., membedakan antara feminisme dan gerakan perempuan. “Kata feminis yang di awal kemunculannya digunakan di Prancis identik dengan emansipasi wanita. Definisi feminis terlalu luas penafsirannya. Perbedaan antara women movement dengan feminism berkaitan dengan ide, aspirasi yang diusung, identitas yang disajikan oleh aktor kolektif itu juga berbeda-beda. Feminism pun memiliki banyak aliran,” tutur Dinar.

Dinar Dewi Kania menggarisbawahi “ruang aman” yang tidak aman: “Aman, secara linguistik artinya bebas dari bahaya, terlindung, tidak mengandung resiko. Istilah “safe space” digunakan oleh kaum feminis sebagai ruang yang bebas untuk aktualisasi dirinya. Implikasi dari “safe space” di Barat yang mana seharusnya memberikan ruang aman terhadap perempuan justru membuat perempuan tidak aman. Contohnya laki-laki yang mengaku sebagai perempuan. Hal itu membuat perempuan sejati kehilangan ruang amannya. Safe space di India diartikan sebagai ruang dimana marginalisasi semua manusia dari segi manapun (gender, etnis, dan sebagainya) dapat dengan leluasa masuk tanpa adanya kekerasan, ketidaknyamanan, atau penghakiman,” jelas Dinar.

“Yang mereka inginkan bukanlah ruang aman, tapi ingin adanya legitimasi masyarakat terhadap kelompok mereka,” imbuh Dinar.

Sementara itu, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. menggarisbawahi pentingnya memandang laki-laki dan perempuan sebagai subjek penuh manusia yang berakal budi pekerti.

“Al-Qur’an sudah sangat lengkap menyediakan sistem untuk membangun ruang aman bagi semuanya. Meskipun demikian, terdapat jutaan penafsiran atasnya dan itu yang pada akhirnya menjadikan adanya selisih paham.

“Semua manusia adalah subjek penuh. Keduanya sama-sama menyandang predikat sebagai hamba Allah. Laki-laki bukan hamba harta, perempuan bukan hamba laki-laki. Keduanya bukan subjek sekunder, apalagi objek. Dari segi tauhid, artinya hanya dan hanya menghamba pada Allah, bukan pada selain Allah. Banyak terjadi di masa sekarang, manusia menuhankan pada selain Allah meskipun tidak menamainya sebagai Tuhan. Subjek penuh artinya setiap manusia memiliki tanggung jawab atas kemaslahatan,” tutur Nur Rofiah.

Nur Rofiah juga membawa narasi perjuangan perempuan yang dicap sebagai sumber fitnah yang pada akhirnya merugikan perempuan.

“Bukan tentang siapa taat pada siapa, tapi keduanya berjuang bersama untuk taat kepada Allah. Penting juga untuk membangun kesadaran bahwa kemaslahatan di dalam dan di luar rumah merupakan kemaslahatan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab perempuan,” ujar Nur Rofiah.

Nur Rofiah menambahkan, “Stigmatisasi semacam “perempuan sumber fitnah”, marginalisasi yang mengecualikan perempuan, dan subordinasi yang menjadikan perempuan sebagai makhluk kedua muncul dari konstruksi sosial.”

Nur Rofiah dan Dinar Dewi Kania memiliki titik temu, tentang tidak adanya kesepakatan ulama’ yang melarang perempuan untuk berperan di ruang publik, yang harus diperhatikan dan diperjuangkan adalah bagaimana saat perempuan berperan di ruang publik tetap aman dari diskriminasi.

Seminar ini membuka paradigma stigmatis terhadap perbedaan, termasuk perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Di samping itu, menggarisbawahi bahwa setiap perbedaan memiliki peran khasnya sendiri yang berkontribusi pada keseimbangan dalam hidup.

Jihad tidak bisa disempitkan maknanya hanya sebatas pada pertempuran fisik, melainkan pada perjuangan intelektual dengan berorientasi keumatan. Jihad santri secara kontekstual adalah jihad intelektual, dimana para santri adalah para pejuang dalam melawan kebodohan dan ketertinggalan. Ini sesuai dengan motto Al-Hikam, “Amaliah agama, prestasi ilmiah, kesiapan hidup”, yang memadukan 2 aspek penting, yakni hablumminallah (hubungan dengan Allah), hablumminannas (hubungan dengan manusia).

Kontributor : Raissa
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok