Oleh: Ustadz. Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I

Satu hal unik yang sudah menjadi ciri khas budaya santri tempoe dulu adalah mereka suka berebutan menata sandal kiainya. Pertanyaannya adalah: Apakah budaya tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan yang berlebihan dan mengarah pada sikap pengkultusan? Tentu saja tidak. Lantas apa yang menyebabkan sebegitunya sikap santri pada kiai-nya?

Paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, sikpa itu muncul lantaran hubungan batin yang kuat antara santri dengan sang kiai. مراهنات رياضية Kuatnya hubungan batin ini merupakan faktor dominan bagi santri untuk mendapatkan ilmu dari sang kiai. Sebagian ulama menyatakan:

قال بعضهم: سبعون فى مائة أنّ العلم ينال بسبب قوة الرابطة بين المريد وشيخه

“Bahwa 70% ilmu itu didapat karena kuatnya hubungan batin antara santri dan kiai-nya”.

Kedua, karena
kuatnya keyakinan santri akan pentingnya mendapatkan barokah dari sang kiai.
Jadi, tradisi berebut untuk menata sandal sang kiai tujuannya tidak lain adalah
“ngalap berkah sang kiai dengan menata sandalnya”. Dengan kata lain,
menata sandal kiai adalah bentuk kepatuhan yang tulus dan keta’dziman kepada
sosok guru atau kiai dan diyakini didalamnya ada keberkahan. Santri menyebutnya
sebagai upaya ngalap berkah.

التبرُّكُ بالنَّعلين من الوليِّ أفضلُ منه بغيرهما لأنهما يَحمِلانِ الجُثَّةَ كلَّها . الفوائد المختارة :٥

“Ngalap berkah melalui sandal seorang wali lebih utama dari pada dengan selainnya. Karena sandal di gunakan untuk membawa jasad seutuhnya.”

Konon, Al-Amin
dan Al-Ma’mun, dua orang putra raja Harun al-Rasyid, saling berlomba untuk
meraih sandal guru mereka, kiai al-Kisa’iy, agar dapat memakaikan sandal itu pada gurunya. Maka
berkatalah guru mereka kepada mereka berdua kala itu, “Masing-masing
memegang satu”.

وكان الأمين والمأمون ابنا هارون الرشيد يتبادران نعلي شيخهما الكسائي أيهما يلبسه إياهما، فيقول لهما عند ذلك: لكل واحد واحدة.

Semakin jelas,
bahwa tujuan Al-Amin dan Al-Ma’mun yang bersaing untuk saling mendahului
memakaikan sandal gurunya al-Kisaiy, yang bisa jadi tidak pernah mereka lakukan
pada ayahnya sendiri (Harun al-Rasyid), semata-mata karena kedekatan hubungan
batin dan rasa hurmat serta ta’dzim keduanya kepada al-Kisaiy, sebagai ayah
yang telah mengajarinya ilmu Nahwu.

Perlu dicatat
bahwa al-Kisaiy adalah seorang Imam yang hafal al-Qur’an, guru besar bahasa
Arab, al-Hasan Ali bin Hamzah al-Asadiy al-Kufiy, yang kemudian dijuluki
al-Kisaiy karena dengan sebuah selimut ia niat berihram (w. 189 H). Terkait
sosok al-Kisaiy, Imam Syafi’i berkomentar:

مَنْ أراد أن يتبحّر فى النحو فهو عيال على الكسائي

Barangsiapa yang ingin berenang dalam lautan ilmu Nahwu, hendaklah ia mendatangi Imam al-Kisaiy“.

Nah, pertanyaan
selanjutnya adalah: Kenapa perlakuan (sikap hormat) kedua putra Harun al-Rasyid
terhadap gurunya melebihi perlakuan keduanya pada ayahnya sendiri? Jawaban atas
persoalan ini jauh-jauh hari telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam
sabdanya berikut:

وقد روي فى الحديث: آباؤك ثلاثة: أبوك الذي ولدك، والذي زوجك ابنته، والذي علمك، وهو أفضلهم. العطية الهنية، ص. كيف تربح في الكازينو ٣٢ و فى المنهج السوي، ص ٢٢٠

“Ayahmu
ada tiga. Ayah yang menjadi penyebab kelahiranmu. Ayah yang menikahkanmu dengan
putrinya. Dan ayah yang mengajarimu, dan dialah yang paling utama”.

Dalam
mengomentari hadis tersebut, al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, mengutip
syair sebagian ulama:

اُقَدِّمُ اُسْتَاذِي عَلى بِرِّ
وَالِدِيْ

وَاِنْ كَانَ لِيْ مِنْ وَالِدِيْ
البِرُّ وَالْعَطْفُ

فَهذا مُرَبِّيْ الرُّوْحِ،
وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ

وَهذا مُرَبِّيْ الْجِسْمِ وَهولها
صَدْفٌ

Aku dahulukan guruku dibanding bakti kepada ayahku Sekalipun kudapatkan kebaikan dan kasih sayang dari ayahku

Yang ini (guru/ayah epistemologis) adalah pendidik jiwaku

Dan yang itu (ayah biologis) pendidik tubuhku, dan ia bagai kerang baginya.

Abu Sahal
al-Shu’lukiy berkata:

عُقُوْقُ الوالِدَيْنِ تَمْحوه التوبة، وعقوق الأستاذين لايمحوه البتّةَ [نقله النووى فى (تهذيبة)، أنظر فى “المنهج السوي” ومثله فى “القرطاس”، ١/ ٢.٨].

“Durhaka kepada orang tua dapat dinetralisir dengan tobat, namun durhaka kepada para guru tidak bisa dihapus oleh apa pun”.

Selanjutnya,
dalam konteks budaya ulama Nusantara, perbuatan menata sandal ini juga
melibatkan 2 (dua) kiai besar Nusantara, yaitu KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim
Asy’ari saat mereka bersama berguru pada Kiai Sholeh Darat Semarang.

Keduanya selalu
berebutan dan bersaing untuk dapat menata sandal kiainya. Sebagai ganjarannya,
karena perbuatannya itu dimata Kiai keduanya dipandang sangat istimewa.

Kegiatan menata
sandal ini terlihat sepele, namun ternyata ada dasar kisah dibalik perbuatan
yang melibatkan 2 (dua) ulama besar Indonesia itu. Ceritanya adalah sebagai
berikut:

Di zaman
Rasulullah Saw ada seorang bocah berumur belasan tahun bernama Salman. Ia
selalu datang lebih dulu ke Mesjid sebelum nabi Muhammad saw datang. Setelah
nabi Muhammad saw masuk mesjid, Salman kemudian bergegas merapikan dan membalik
posisi sandal Rasulullah. Hal itu dilakukan setiap hari sehingga membuat
Rasulullah saw penasaran untuk mengetahui siapa yang melakukan itu.

Suatu kali saat
masuk Mesjid, Rasulullah saw sengaja bersembunyi untuk melihat siapa orang yang
merapikan dan mengubah letak sandalnya. Saat itulah dilihatlah Salman yang
melakukannya.

Nabi Muhammad
saw kemudian mendoakan Salman agar menjadi orang yang alim dalam ilmu Fiqh.
Setelah dewasa dikalangan ulama Salman dikenal kemudian sebagai ahli Fiqh sesuai
nabi saw doakan terhadapnya. (Lihat buku “Kebiasaan Dua Ulama Besar KH Ahmad Dahlan dan KH
Hasyim Asy’ari)

Terakhir, ini
adalah pengalaman pribadi saya, dulu daat ngaji Ihya’ Ulumiddin di PP. Darul
Huda Mayak Ponorogo di bawah bimbingan al-Maghfurlah KH. Hasyim Sholeh (Juz
3-4, karena juz 1&2 ngajinya di PP. Hidayatul Mubtadi’in Ngunut T. Agung),
aku juga sering melakukan budaya ini. Jika tidak berkesempatan menata microfon,
meja dab bantal kiai karena sudah kedahuluan santri lainnya, aku pun bergegas
menata bangkiak milik kiai Hasyim. Kadang aku juga merasa jengkel manakala
kesempatan kedua-duanya lenyap, lantaran kedahuluan oleh santri lain. Sungguh,
yang terakhir itu, bikin Sakitnya tuh di sini…!!!

Walhasil, bahwa
budaya berebut untuk menata sandal kiai merupakan budaya yang positif yang
perlu dilestarikan. Jelas argumentasinya, baik secara naqli maupun aqly. شراء يانصيب اون لاين Semoga
kita bisa mengikuti teladan baik para pendahulu kita. Amien.

Wallahu A’lam
bi al-Shawwaab.

Ponorogo,
29/04/2019

Al-Faqiir

Ahmad Syafi’i


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri