Oleh: Khaolil Mudlaafar

Istilah santri merupakan
produk kearifan lokal Nusantara, utamanya di kalangan Masyarakat Jawa. Kajian
antropologi menunjukkan bahwa sejak era Kerajaan Islam, kaum santri dan kaum abangan
digunakan sebagai penggolongan masyarakat dalam kehidupan keberagamaan. Kaum santri
dipandang sebagai golongan yang lebih memahami dan menjadikan Islam sebagai
tuntunan hidupnya. Sebaliknya, kaum abangan dianggap sebagai golongan yang kurang
memahami dan mengamalkan ajaran Islam, meskipun sejatinya status mereka adalah
pemeluk Islam. Secara umum istilah santri merujuk pada orang yang mendalami
Islam di pondok pesantren, namun perkembangan zaman membuat istilah santri
bermakna lebih luas.

Bagi kalangan santri, Gus
Baha Nursalim menjadi salah satu ulama muda dan inspiratif yang akhir-akhir ini
mulai digandrungi banyak orang. Meskipun dalam pendidikan formal tidak terlalu
tinggi, namun perihal keilmuan dan keagamaan tidak perlu diragukan lagi. Ia
menjadi salah satu ahli tafsir di Indonesia dengan kiprahnya antara lain masuk
dalam jajaran Dewan Tafsir Nasional dan Ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas
Islam Indonesia (UII). Seringkali video kajian dan ceramahnya ditonton oleh
berbagai kalangan dan menyebar cepat di media sosial.

Salah satu yang menarik
perhatian adalah pernyataan yang menyindir santri, bahwa selama ini banyak
orang bergelar doktor, profesor, atau dari pendidikan formal lainnya berani
berkata ahli di suatu bidang; namun masih banyak santri yang sebenarnya ahli
dalam kitab-kitab tertentu diam, tidak berani menunjukkan keahliannya.

Pernyataan itu
mengingatkan penulis terhadap suatu percakapan dengan teman kuliah, yang juga sesama
santri, meskipun alumni dari pondok pesantren yang berbeda. Kurang lebih isinya
adalah tentang banyaknya teman-teman santri yang memiliki karakter seperti
disinggung oleh Gus Baha. Mereka cenderung bersifat tawaduk (rendah hati) yang
kebablasan, bahkan di saat yang tidak tepat. Masih banyak santri yang juga merasa
malu dalam menunjukkan keilmuannya atau melakukan sesuatu kebenaran, padahal
sebenarnya mereka mampu.

Hal ini merujuk pada
pengertian malu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu “Segan
melakukan sesuatu karena rasa homat, agak takut, dan sebagainya”. Karakter
tersebut cenderung penulis temui terutama dari kalangan santri salafiyah yang
tidak menempuh pendidikan formal, serta santri dari daerah yang bukan kota
besar. Sedikit berbeda dengan santri dari pesantren modern atau mereka yang menempuh
pendidikan tinggi.

Islam telah mengatur semua
sendi kehidupan, termasuk perihal rasa malu di dalamnya. Agaknya hal itu juga
yang coba dipatuhi para santri, akan tetapi terkadang pelaksanaannya yang masih
salah. Perihal malu salah satunya dijelaskan dalam Kitab Tanbihu al-Ghafilin
dalam pembahasan khusus yaitu di باب الحياء (Bab al-Khaya’) halaman 172-173. Dalam kitab ini seperti
diceritakan oleh Lais dari Samarkand, dari Abi Ayyub al-Anshori berkata bahwa
termasuk dalam Sunah Rasul ada empat, yaitu memakai wewangian, menikah, bersiwak,
dan rasa malu. Hadits masyhur tentang rasa malu juga dijelaskan di sini. لعبة بينجو

عن الحسن عن النبي ﷺ أنه قال: الحياء من
الايمان واالايمان فى الجنة والبذاء من الجفاء والجفاء فى النار

“Diceritakan dari Hasan bahwasannya Nabi Muhammad Saw.
bersabda, Malu sebagian dari iman dan iman tempatnya di surga. Dan perkataan kasar
sebagian dari karakter buruk, dan karakter buruk tempatnya di neraka”.

Seringkali mayoritas orang,
termasuk santri, mengambil potongan hadis hanya sampai rasa malu (al-khaya’)
sebagian dari iman, sedangkan kelanjutannya tentang karakter sebaliknya (al-badza’)
tidak turut disertakan. Hal itu membuat makna bias rasa malu yang dimaksud
sebagian dari iman. Padahal dalam kitab yang sama sudah dituliskan dengan jelas
mengenai kriteria rasa malu yang dimaksud.

“Diceritakan oleh Abu Lais dari Abdullah Bin Mas’ud,
Rasul bersabda “Malulah kalian semua kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya
malu. Menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan isinya, ingat kematian,
ingat kerusakan, tidak mengejar duniawi itulah sejatinya malu.”

Penjelasan lebih lanjut mengenai
pembagian rasa malu ada dua macam, yaitu kepada sesama manusia dan kepada Allah
Swt. Malu kepada sesama manusia adalah menjaga pandangan dari yang tidak halal,
dan kepada Allah adalah menyadari nikmat yang diberikan-Nya sehingga timbullah
rasa malu jika ingin melakukan maksiat.

Rasa malu tidak dibenarkan
dalam hal kebaikan dan keilmuan. Seseorang yang memiliki ilmu diharuskan menunjukkan
keilmuannya demi kemaslahatan umat. Hal ini seperti dijelaskan pada ayat
al-Quran

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَـٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ
أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. an-Nahl,16:125)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَـٰبِ لَكَانَ خَيْرًۭا
لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ

Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
(QS. Ali Imran, 3:110)

Santri yang notabene dipandang
lebih paham tentang agama harus bisa mendakwahkan keilmuannya. Media dakwah
yang digunakan bisa melalui banyak hal, mulai dari metode konvensional dengan
ceramah/kajian klasik dalam pertemuan langsung, diskusi keilmuan, dan menulis
kitab seperti yang dilakukan ulama-ulama terdahulu. Lalu bisa juga menggunakan
teknologi dengan memanfaatkan media sosial, menulis artikel di media massa dan
website, serta menulis buku ringan dengan bahasa populer, sehingga lebih bisa
menjangkau banyak orang.

Tidak ada lagi alasan bagi
santri untuk memiliki rasa malu tampil di depan publik. Santri harus mulai
berani membaur di masyarakat dengan bekal keilmuannya tanpa ada batasan
kalangan tertentu. Tindakan tersebut menjadi langkah efektif untuk menyebarkan
paham Islam rahmatan lil ‘alamin dan turut meredam pemahaman Islam
radikal. Jangan sampai setelah pulang dari pesantren, stigma yang melekat pada santri
dikenal masyarakat hanya sebagai “calon modin” yang tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman. Kembali merujuk pernyataan Gus Baha, dengan hematnya santri
harus bisa dikenal kepakarannya.


Santri Mengglobal

Bantu santri untuk bisa belajar di luar negeri

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *