Pada malam pertengahan bulan sya’ban atau yang biasa disebut denganmalam nisfu sya’ban, banyak kita jumpai ragam amaliah yang ada di masyarakat. Amaliah ini, bertujuan untuk meraih keutamaan malam nisfu sya’ban yang biasanya dimulai seusai shalat magrib dengan membaca surat yasin sebanyak tiga dan diakhiri dengan doa. Di samping itu ada juga sebagian masyarakat yang membawa air dalam teko, gelas, botol atau sejenisnya, untuk kemudian diminum setelah pembacaan yasin dan doa tersebut, sembari ada yang membagi-bagikan makanan yang memang sengaja disedekahkan utuk acara ini.

Tradisi semacam ini memang sedari dulu hingga sekarang sudah mengakar kuat di lapisan masyarakat kita, kendati masih ada sebagian kalangan yang tidak menyepakatinya, dengan dalih “tidak ada dari sananya, Nabi saw dan para sahabat tidak pernah melakukan hal demikian.” Atas dalih kalangan yang tidak sepakat dengan tradisi malam nisfu sya’abanan ini, maka timbulah keresahan di kalangan masyarakat dan terdapat pertanyaan “adakah dalil yang bisa menjadi pijakan dalam menyikapi persoalan ini?”

Kajian Hadis

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) meriwayatkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitabnya al-Musnad;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ “

Dari Abdillah ibn ‘Amru bahwa Rasulullah saw bersabda: “Allah swt akan memantau makhluk-Nya pada malam nisfu syaban kemudian mengampuni dosa-dosa hamba-Nya kecuali bagi pendengki dan yang membunuh jiwa manusia.”

Menurut al-Mundziri sanad hadis ini kualitasnya dha’if (lemah) karena terdapat perawi yang bernama Abdulah Ibn Lahi’ah al-Mishri. Menurut Imam Ibn Hajar al-‘Asqolani, Ibn Lahi’ah sebagai sosok yang shaduq (dipercaya dalam periwayatan hadis) namun setelah terbakar rumah dan kitab-kitabnya pada tahun 170 H periwayatan hadis darinya dipertimbangkan oleh para ulama. Sementara menurut Yahya ibn Ma’in, Ibnu Lahi’ah tidak memiliki kekuatan hafalan (laisa bi al-qawiyyi) baik sebelum terbakar kitab-kitabnya maupun sesudahnya, menurut al-Nasa’i Ibnu Lahi’ah dha’if (lemah). Dalam literatur ilmu musthalah hadis nama Ibnu Lahi’ah ini seringkali dijadikan bahan percontohan pada topik pembahasan “man khalatha min al-Tsiqat”.

Perlu dicatat bahwa kelemahan sanad yang terdapat pada hadis ini bukan disebabkan oleh perawinya yang dituduh pendusta (matruk) bukan juga disebabkan oleh kefasikan perawinya (munkar). Sehingga hadis ini tidak termasuk kedalam kategori hadis yang lemah sekali (dha’if jiddan). dalam disiplin ilmu hadis, bila terdapat hadis dha’if dan substansinya juga diriwayatkan melalui beberapa jalur lain, maka hadis tersebut bisa naik kualitasnya menjadi hasan ligairihi, dengan syarat kelemahannya tidak disebabkan oleh perawi yang fasik dan pendusta.

Sementara itu banyak ditemukan riwayat yang senada dengan substansi hadis di atas. Semisal hadis dari Mu’adz ibnu Jabal yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam al-Mu’ajam al-Aushat, Imam Ibnu Hiban dalam shahihnya, Imam al-Baihaqi dalam syu’ab al-Iman. Selain itu, Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan dengan redaksi dan jalur lain;

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ، فَإِذَا هُوَ بِالبَقِيعِ، فَقَالَ: أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ، فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

Dari Aisyah RA berkata : pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw, kemudian aku keluar dan ternyata beliau sedang berada di Baqi’ beliau bersabda: “apakah kamu takut akan dizalimi Allah dan Rasul-Nya?” saya berkata wahai Rasulullah aku kira engkau sedang mendatangi istri-istrimu, beliau bersabda “sesungguhnya Allah ta’ala turu ke langit dunia pada malam pertengahan bulan sya’ban, lalu mengampuni manusia sejumlah bulu kambing.”

Selanjutnya apakah hadis-hadis yang telah disebutkan ini bisa menjadi dalil adanya keutamaa malam nisfu sya’ban?

Al-Mubarakfuri (w.1353 H) dalam kitabnya Tuhfah al-Ahwadzi secara terus terang mengatakan;

إعلم أنه قد ورد فى فضيلة ليلة النصف من شعبان عدة أحاديث مجموعها يدل أن لها أصلا

“ketauhilah sesungguh hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan malam nisfu sya’ban itu memang benar-benar ada, yang secara keseluruhan menunjukan bahwa fadhilah malam nisfu sya’ban ada pijakan dalilnya.”

Kalau masih ingin diasumsikan bahwa hadis yang berkaitan dengan keutamaan malam nisfu sya’ban itu kualitasnya lemah, maka perlu diingat tidak serta-merta semua hadis dha’if tidak dapat diamalkan. Meunurut mayoritas ulama, hadis dha’if  tetapboleh diamalkan dalam hal keutamaan ibadah (fadha’il ‘amal) dengan tiga syarat;

  1. Kelemahannya tidak sangat parah
  2. Hadisnya termasuk dalam cakupan pokok-pokok hadis yag diamalkan (ma’mul bihi)
  3. Saat mengamalkannya tidak diyakini kepastiannya, hanya sekedar kehati-hatian saja
  4. jika demikian, Tidak perlu dihiraukan kalangan yang menganggap bahwa keutamaan malam nisfu sya’ban itu tidak ada dalilnya. Nyatanya ada hadis yang bisa diajadikan pijakan dalil untuk itu, dengan kualitas hasan ligoirihi. Dalam disiplin ilmu hadis, kategori  hasan ligoirihi termasuk dalam kategori hadis yang maqbul (diterima) dan bisa dijadikan hujjah

Ragam Teknis pelaksanaan

Hadis-hadis yang telah disebutkan di atas secara tersurat memang tidak menjelaskan amaliah tertentu yang ada pada malam nisfu sya’ban, namun secara tersirat wajar saja jika ampunan yang hendak Allah swt berikan kepada hamba-Nya, disambut baik melalui amaliah yang baik pula, semisal dengan membaca al-Qur’an dan doa secara berjama’ah di masjid. Amaliah tersebut selain bertujuan untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban juga untuk mengajak dan memberi pelajaran kepada masyarakat umum, menjalin kebersamaan dan saling berbagi kebahagiaan.

Disamping itu, ada juga sebagian masyarakat yang melalui malam nisfu sya’ban sebagaimana malam-malam biasanya, mereka tidak begitu antusias dengan tradisi amaliah yang dilakukan secara kolektif itu, mereka lebih memilih diam di rumah dan menjalankan aktifitas sebagaimana biasanya, kalau pun mereka menjalankan amaliah sebagaimana yang disebutkan di atas, bukan lantaran sengaja malam nisfu sya’banan tapi mereka memang biasa menjalani amaliah itu di setiap malamnya. Alhasil keduanya tetap dapat dibenarkan, selama tidak saling salah-menyalahkan satu sama lain, yang biasa mejalaninya tidak menganggap amaliah tersebut sebagai sebuah kewajiban. Sebaliknya yang tidak biasa pun tidak perlu menyalahkan atau memvonis bid’ah kepada mereka yang biasa menjalaninya.

Konsep Berinteraksi Dengan Tradisi        

Kehadiran Islam di muka bumi ini bukan untuk menggusur seluruh budaya dan tradisi yang ada di masyarakat. Justru Islam datang untuk bersinergi dengan tradisi dan budaya yang ada, sepanjang keduanya tidak bersebarangan dengan syariat. Sehingga konsep Islam yang rahamatan lil a’lamin ini bisa dijewantahkan di pelbagai rapisan masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan kehati-hatian dan nalar yang matang dalam menyikapi segala bentuk prilaku yang tidak terdapat di zaman Nabi saw.

Ada sebuah konsep yang sangat ciamik dalam menyikapi sesuatu yang secara terperinci tidak ada di zaman Nabi saw, konsep ini dibangun oleh Imam Syafi’i (w 204 H) dan dinukil oleh Imam Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam kitabnya fathu al-Bari :

قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم

Imam Syafii berkata: “sesuatu yang baru -yang tidak terdapat di zaman Nabi saw- itu terbagi kepada dua bagian; pertama terpuji dan kedua tercela. Bila perbuatan tersebut ada landasan dalilnya dari sunnah, maka termasuk pada kategori yang terpuji. Sebaliknya jika tidak ada maka perbuatan yang baru termasuk pada kategori tercela.”

Lebih dari itu, ulama yang bergelar amir al-mu’minin fil hadis ini dalam fath al-Bari turut mengembangkan konsep yang telah dirintis oleh pendahulunya, dengan menyatakan bahwa kategori bid’ah ada juga yang mandubah (disunahkan);

والبدعة المندوبة كل إحسان لم يعهد عينه فى العهد النبوي

Bid’ah mandubah adalah segala bentuk kebaikan yang tidak ada di zaman Nabi saw.

Pendapat dua ulama di atas ini, tentu bukan produk pikirannya sendiri tanpa landasan dalil. Melainkan keduanya sudah mendapatkan ‘surat mandat’ langsung dari Nabi saw melalui sabdanya;

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memulai tradisi baik dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai tradisi buruk dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” HR. Muslim.

Dalam hadis ini Nabi saw secara jelas menyatakan bahwa kategori sunnah itu ada yang hasanah (baik) ada juga yang sayyi’ah (buruk) pun demikian dengan bid’ah, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal dengan mafhum al-Mukhalafah, jika demikian, bid’ah juga ada yang hasanah ada pula yang sayyi’ah. Sehingga, bila konsep ini diterapkan dalam menyikapi tradisi yang mengakar di masyarakat maka buahnya tradisi tersebut akan tetap bersahabat dengan ajaran Islam, selagi tidak keluar dari kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Wallahu A’lam

Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di majalahnabawi.com


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *