Siapa yang tak kenal Haji Agus Salim, seorang pejuang kemerdekaan, diplomat jenaka penopang republik, santri moderat, pendebat ulung, yang jasanya sangat besar sekali untuk negeri ini, sepak terjangnya tak hanya diakui oleh bangsa kita, bahkan dunia internasional mengakui kecerdikannya dalam berdiplomasi. Orang-orang biasa menjulukinya sebagai “The Grand Old Man”.

Belanda memandang Salim bukanlah orang yang remeh,
seringkali Ia terlibat dalam perundingan inernasional, terutama menyangkut
kedaulatan bangsa Indonesia, hingga kemudian ia membungkam lawannya.

Tatkala Salim mengunjungi negara-negara Arab
untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia, diantaranya Mesir yang
pertama, menyusul selanjutnya Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman. Mendengar
kabar tersebut Belanda rupanya gusar. Tak segan Salim merespons amarah Belanda,
Ia mengatakan:

“…Kalau tuan-tuan menganggap usaha kami
mendapatkan pengakuan de jure negara-negara Arab atas Republik Indonesia
bertentangan dengan perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan
lancarkan kepada kami sesuai dengan perjanjian Linggarjati? Pengakuan de
jure
yang kami peroleh adalah akibat daripada aksi militer Tuan. Kalau Tuan-tuan
melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai
pengakuan de jure dari seluruh dunia.”

Mohammad Hatta di buku Hadji Agus Salim:
Pahlawan Nasional yang disunting Solichin Salam, ada suatu perdebatan yang
meruncing hingga atasannya menyindir Salim:

“Salim, apakah engkau kira bahwa engkau
ini orang yang paling pintar di dunia?”

Salim menangkisnya, “Itu sama sekali
tidak. Banyak orang yang lebih pintar dari saya. تنزيل لعبة الروليت Cuma saya belum bertemu dengan
seorang diantara mereka,” Kata Salim.

Banyak suka duka Agus Salim dalam sepak terjang
perjuangan kedaulatan Republik Indonesia. Ia pernah diminta oleh Jepang untuk
membuat kamus istilah kemiliteran, meski hingga saat ini tidak ada yang
menyimpan kamus tersebut sama sekali. Ia juga pernah menjadi anggota delegasi
dalam Perjanjian Renville, dan pernah diasingkan di Tanah Pembuangan di tiga
Kota.

Sejak kecil Agus Salim memang sudah memiliki
kecerdasan dalam berpikir. Ia mengenyam Pendidikan dasar di Europeesche Lagere
School (ELS), yang mana sekolah tersebut khusus bagi anak-anak Eropa, setelah
itu Salim melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ia
berhasil menjadi lulusan terbaik di tiga HBS: Batavia, Semarang dan Surabaya.

Dengan demikian seharusnya Salim mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Belanda. Sembari menunggu beasiswa
tersebut, Salim melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokeran di School tot
Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), Kwitang. Setidaknya ia lebih dulu menjadi
murid dibanding Tjiptomangunkusumo di sekolah tersebut.

Waktu terus berlalu, namun beasiswa tak kunjung
datang. Kabar mengenai hal itu sampai ke Jepara, membuat Rajeng Kartini ingin
mengirimkan surat kepada Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda Jacques Henrij Abendanon pada 24 Juli 1903. Isinya adalah permintaan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengalihkan beasiswa yang ia dapat untuk
Salim.

“Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri
Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali gaji ayahnya cuma 150
gulden sebulan. Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh
pendidikannya yang kira-kira 8.000 gulden. Bila tidak mungkin, kami akan
berterimakasih seandainya Salim dapat menerima jumlah 4.800 gulden yang
disediakan untuk kami itu.

Kisah diatas adalah salah satu cuplikan yang
tertulis dalam Seri Buku Saku Tempo, Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik.
Halaman 145-146. Meski Asvi Warman Adam berpendapat bahwa Agus Salim tidak
mengetahui informasi surat kartini itu, setidaknya data sejarah tertulis ini
dapat menjadi motivasi bagi kita semua, terkhusus Santri Scholars, bahwa “Sekelas
Agus Salim saja pernah gagal dalam proses pencarian Beasiswa untuk menunjang
pendidikannya, masa kita mau menyerah begitu saja ketika gagal.” Panjang Umur,
Grand Old Man!