Dalam beberapa pekan terakhir, hangat diberitakan isu diskriminasi pemerintah China terhadap masyarakat muslim di Uighur. Setali tiga uang, di tanah air juga diangkat pemberitaan tentang larangan perayaan Natal di dua desa di Sumatera Barat. Dua pemberitaan ini sebenarnya adalah isu lama. Timbul tenggelam ke permukaan. Pro dan kotra juga telah banyak disampaikan. Upaya penyelesaian telah diupayakan. Hanya saja, belum tuntas dan diterima oleh semua pihak. Terlebih terkait kasus diskriminasi muslim Uighur, dunia internasional juga masih terbelah. Masing-masing kubu memiliki alasan pembenarannya masing-masing.
Selain tetap berdoa dan berusaha untuk mencari penyelesaian terbaik, baik kiranya dua peristiwa di atas menjadi pelajaran bersama. Bahwa harus terus diupayakan saling penghormatan antar sesama pemeluk agama. Memberi kebebasan bagi masing- masing pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Serta terus membina dan memupuk hubungan sosial. Dapat kita bayangkan, jika antara pemeluk agama tidak saling menghargai, pasti akan terjadi permusuhan abadi. Dunia akan berkecamuk perang dan saling curiga. Lantas bagaimana kita menyikapinya?
Jika kita telisik lebih dalam, Islam mengajarkan bahwa kemajemukan adalah sunnatullah. Keragaman tidak dapat dihindari oleh siapa pun di belahan dunia ini. Tak terkecuali dengan kemajemukan agama. Sudah barang tentu di setiap negara terdapat agama yang mayoritas dan minoritas. Di Indonesia, Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas. Namun tidak dapat dimungkiri, di negara lain, Islam menjadi agama minoritas. Hanya saja, perlu kita pahami bahwa baik mayoritas maupun minoritas adalah sama-sama sebagai warga negara. Dijamin dan dilindungi hak dan kewajibannya.
Selain itu, bagimana cara kita menyikapi keragaman agama, sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat kita telusuri dalam literatur kitab-kitab hadis yang mu’tabarah, semisal kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. Dari beragam sumber ini, setidaknya ada lima agama di masa Rasulullah saw. Kelimanya adalah Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi dan animisme. Di tengah keragaman ini, tidak sedikit terdapat riwayat sahih yang menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad saw berinteraksi dengan penganut agama lain dalam rangka membina solidaritas sosial.
Berbagi untuk harmoni
Terkait hal ini, Nabi Muhammad saw pernah menegur istrinya, Sayidah Aisyah ra. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayidah Aisyah tengah mengadakan tasyakuran dengan memotong kambing. Masakan daging kambing dibagikan kepada tetangga-tetangga terdekat. Saat Nabi melihat apa yang dilakukan oleh istrinya itu, beliau bertanya; “Wahai istriku apakah engkau telah membagikan masakan ini kepada si fulan?” Sayidah Aisyah menjawab; “Belum! Dia itu seorang Yahudi, dan saya tidak akan mengiriminya masakan. كيف تربح في البوكر ” Mendengar jawaban ini, Nabi memerintahkan agar membagikan masakannya kepada Yahudi tadi. “Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia tetap tetangga kita.” Begitu tutur Nabi saw untuk ibunda Aisyah. Dari riwayat ini terlihat jelas bahwa Nabi Muhammad saw berbuat baik kepada non-Muslim tanpa melihat latar belakang agamanya.
Dalam kitab Sunan al-Tirmidzi terdapat riwayat, bahwa suatu ketika Sayidina Imam Mujahid berada di kediaman Sayidina Abdullah bin ‘Amru ra. Waktu itu, beliau melihat pembantu Abdullah bin ‘Amru sedang menyembelih seekor kambing. Abdullah bin ‘Amru kemudian bertanya kepadanya; “Apakah kamu sudah menghadiahkan daging ini kepada tetangga kita yang Yahudi?” Dari riwayat ini kita dapat mengambil pelajaran adanya perhatian sahabat Nabi saw kepada tetangga. Kendati tetangganya tersebut seorang Yahudi. Berbeda keyakinan dan agama.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang muslim dengan non-muslim dapat hidup rukun berdampingan sebagai tetangga. Menjalin keharmonisan sosial dengan baik. Serta saling berbagi dan saling menghargai satu sama lain. Tidak perlu ada sekat yang memisahkan hubungan harmonis di antara keduanya. Tentunya selama tidak berkaitan dalam hal aqidah dan ibadah. Karena masing-masing sudah memiliki ajarannya masing-masing.
Selain itu, sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya seringkali kedatangan tamu dari kalangan non-muslim. Nabi Muhammad saw menyambut mereka dengan hangat. Sebagai misal, saat rombongan Nasrani Najran yang berjumlah 40 orang bertamu kepada Nabi. Rombongan tersebut dipimpin oleh Uskup Abu Haritsah bin ‘Alqamah. Di Masjid Nabawi, mereka berdiskusi dan dialog bersama Nabi saw perihal masalah keimanan. Seusai diskusi, rombongan ini pamit untuk pulang dan tidak seorang pun dari mereka yang masuk Islam. Nabi saw juga tidak memaksa mereka untuk masuk Islam. Namun beberapa lama kemudian, ada dua tokoh rombongan ini yaitu al-Sayid dan al-‘Aqib menghadap kembali kepada Nabi untuk menyatakan keislamannya.
Dalam konsep beragama, Islam sama sekali tidak membenarkan adanya kekerasan dan pemaksaan, apalagi teror kepada non-muslim untuk memeluk Islam. Dengan jelas Allah swt berfirman:
“Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Q.S. al-Baqarah: 256)
Inilah sebenarnya titik moderasi Islam, di mana Islam mengakui dan menerima eksistensi agama lain tanpa harus mengakui kebenaran ajarannya. Kita juga melihat contoh akhlak Nabi saw melalui beberapa riwayat di atas. Nampak jelas begitu lapangnya Nabi menyikapi perbedaan. مواقع الرهان على المباريات Tujuannya adalah untuk menghindari timbulnya konflik dan permusuhan.
Budaya hidup rukun di Indonesia
Kerukunan antar umat beragama juga dapat kita temukan di Indonesia, di mana satu sama lain saling menghargai, bahkan berkerja sama. Sebagai misal, apa yang pernah dinyatakan oleh KH. Ali Mustafa Yaqub selaku Imam Besar Masjid Istiqlal (2005-2016). Yakni masjid Istiqlal memiliki kerjasama yang baik dengan gereja Katedral. Ketika gereja Katedral menyelenggarakan perayaan keagamaan seperti Natal, sementara lahan parkirnya tidak cukup, maka masjid Istiqlal menyediakan halamannya untuk digunakan sebagai lahan parkir kendaran para pengunjung gereja Katedral.
Sebaliknya juga begitu saat perayaan Idul Fitri, gereja Katedral menyediakan lahan parkirnya untuk kaum muslimin yang shalat di masjid Istiqlal. Hal seperti ini menunjukkan adanya jalinan harmonis dan semangat toleransi antar umat beragama di bumi pertiwi ini.
Jadi, sangat tidak dibenarkan jika ada yang menyatakan bahwa ajaran Islam mengajarkan kekerasan terhadap agama lain. Pernyataan seperti ini biasanya timbul dari pemahaman jihad yang sangat sempit. Ada sebagian orang memahami bahwa jihad adalah aktifitas mengangkat senjata. لعبة الروليت اون لاين Padahal tidak demikian, justru agama yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad saw ini mengajarkan pemeluknya untuk berbuat baik, melindungi, dan memberikan hak kepada non-muslim. Hal ini juga termasuk sebagai aktifitas jihad dalam menebar ajaran Islam yang damai dan santun.
Terkait hal ini, dalam surat al-Mumtahanah ayat 8, Allah swt memerintahkan orang-orang muslim agar berbuat baik dan berlaku adil kepada non-muslim.
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah: 8)
Karena itu, kita patut saling bergandeng tangan untuk mewujudkan keadilan dan keharmonisan bersama. Isu diskriminasi pemerintah China terhadap saudara-saudara muslim di Uighur dan larangan perayaan Natal di Sumatera Barat di atas harus kita jadikan sebagai tantangan bersama. Yakni dengan kepala dingin dan mengedapankan rasa saling percaya untuk mencari jalan keluar. Mewujudkan kebebasan beragama serta melindungi hak asasi manusia masing-masing pemeluk agama. ***
Tulisan ini adalah buletin Jumat Muslim Muda Indonesia