Saat menulis tulisan ini, saya teringat dengan sebuah tulisan resensi buku saya berjudul ‘Ngaji Ke Kiai Bule’ yang pernah dimuat di Koran Malang post, 2013 silam. Tulisan resensi ini diangkat dari catatan bacaan atas buku ‘Berguru Ke Kiai Bule’ yang ditulis oleh Prof. Sumanto al-Qurtuby, dkk. Secara umum, buku setebal 275 halaman tersebut mengisahkan bagaimana perjalanan hidup Prof. Sumanto dan teman-temanya dalam mengarungi bahtera akademik sebagai seorang Muslim di luar negeri, khususnya di negara barat. Lebih jauh lagi sebagai refleksi pengalaman hidup mereka berupa spiritual, moral dan intelektual yang mereka dapatkan dari guru/kiai mereka selama belajar barat, khususnya di Amerika.

Setelah membaca buku tersebut, saya menjadi sering berdoa pada yang maha kuasa agar kelak saya juga mendapatkan kesempatan belajar langsung dari banyak guru di banyak negara di dunia, yang dengan pengalaman belajar tersebut bisa menjadi tambahan pondasi keimanan serta asupan nilai-nilai spiritual, moral dan intelektual untuk jenjang kehidupan saya di kemudian hari.

Biidznillah. Doa tersebut dikabulkan Allah yang maha kuasa. Salah satu wasilahnya, bisa jadi, lewat pengalaman hidup yang saya dapatkan langsung saat kuliah di Belanda dan field trip di Palestina. Pengalaman tentang betapa pentingnya merawat dan meruwat toleransi antar umat beragama.
Adalah Profesor Fernando Enns yang mengajari, membuka wawasan serta meluruskan cara pandang saya tentang bagaimana sebenarnya makna toleransi antarumat beragama. Beliau merupakan guru besar bidang perdamaian, menjadi dosen sekaligus ketua program magister bidang Peace, Trauma, and Religion di Vrije Universiteit Amsterdam. Tidak hanya mengajar di Belanda, beliau juga salah satu pengajar di University Hamburg, Germany.

Saya mengenalnya sebagai seorang Kristiani Mennonite yang sangat taat. Tidak hanya aktif dalam kegiatan akademik di kampus, tetapi juga seringkali aktif dalam kajian agama di gereja, khususnya seputar kajian perdamaian dunia. Bagi saya, Prof. Enns, lebih dari sekedar guru, beliau adalah pendidik sejati, yang tidak hanya memberikan pengajaran langsung di kelas, tetapi juga layak dijadikan guru teladan di luar kelas.

Fernando, biasa saya menyapanya, begitu sangat mencintai dan menghargai murid-muridnya. Sebagai profesor yang sangat pantas dihormati, ia tidak ingin mahasiswanya memangilnya dengan gelar kehormatan tertinggi di jenjang perguruan tinggi tersebut. Cukup panggil nama saja, Fernando. Saya pernah tanya langsung kepadanya mengapa ia lebih senang dipanggil demikian. Sambil senyum ia katakan, ‘saya tidak ingin ada jarak pembatas antara saya dan mahasiswa seperti kamu dan lainya. Saya ingin semua ngalir saja, agar kita bisa sama sama belajar, saya belajar dari kamu, kamu bisa belajar dari saya’. Tegasnya. Esensi yang disampaikan Fernando tersebut tak ubahnya nilai-nilai tawadhu yang juga diajarkan guru-guru saya di pesantren di Indonesia.

Fernando juga merupakan sosok pendidik yang sabar lagi bijaksana. Ia selalu tersenyum dan hampir tidak pernah mengeluh langsung di depan murid-muridnya, padahal seringkali ia direpoti banyak pertanyaan seputar program akademik maupun konsultasi pendidikan lainya. Walau Jadwal rapat dan bimbingan tiap minggunya selalu ful. Itu saya lihat dari catatan harian kepunyaanya. Di sela-sela kesibukanya, ia pun masih saja luangkan waktu untuk menyapa atau sekedar mengingatkan mahasiswa yang menjadi tanggung jawabnya untuk terus semangat belajar dengan banyak membaca dan menulis. Termasuk kepada saya.

Lebih jauh lagi, saya juga mengenalnya sebagai sosok yang begitu sangat toleran dan sangat menghormati waktu. Fernando selalu memberikan waktu khusus kepada saya dan teman saya yang Muslim untuk tunaikan shalat manakala waktu kuliah kita bersamaan dengan waktu shalat, Zuhur dan Ashar misalnya. Fernando juga selalu memulai kelas tepat waktu dan mengakhiri kelas pun sesuai dengan waktunya. Tanpa korupsi waktu. 5-10 menit sebelum kelas dimulai, biasanya beliau sudah duduk di kelas menyiapkan bahan ajar di laptonya sambil menyapa mahasiswanya yang berdatangan satu-persatu. Kalaupun terlambat atau ada permintaan ganti waktu/jadwal kuliah, ia tidak akan malu untuk meminta maaf dan memberi tahu keterlambatan atau perubahaan tersebut jauh sebelum waktunya, alias tidak dadakan.

Pada Maret 2017, ia menjadi pembimbing perjalanan internship dan field trip ke Israel-Palestina yang saya ikuti. Perjalanan ke Israel-Palestina tersebut membuat saya semakin bisa mengenal sosok Fernando lebih dekat. Saya tidak lagi canggung untuk berdikusi denganya. Tidak sekali dua kali kita berdiskusi langsung berdua, baik di ruang makan mauupun di perjalanan saat studi lapangan. Diskusi dan Obrolan kita pun beragam, mulai dari obrolan ringan seputar hobi, aktifitas selama kuliah maupun informasi keluarga di Indonesia hingga materi obrolan yang sedikit lebih berat, seperti alasan mengapa konflik Israel-Palestina terus berlanjut, mengapa agama seringkali dijadikan sumbu pemicu konflik, mengapa agama seringkali tertuduh mengajarkan nilai-nilai kekerasan bagi pemeluknya dan lain sebagainya.

Dari obrolan dan diskusi langsung dengan beliau. Saya semakin kagum dengan luasnya ilmu, banyaknya pengalaman serta kecintaanya pada bidang yang ia tekuni. Dari banyaknya diskusi maupun obrolan yang berlangsung, ada satu momen pernyataaan langsung dari beliau yang begitu membekas dalam hati dan pikiran saya sampai saat ini.

Saat itu, rombongan kami sedang berjalan untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang sejarah keberadaan tembok ratapan (the wailing wall) dan Masjid al-Aqsa yang berada dalam satu komplek Haram El-sharief di Jerusalem.

Setelah melewati wilayah tembok ratapan, rombongan berjalan menuju pintu masuk masjid Al-Aqsa. Sambil menunggu antrian ke dalam, kami menunggu cukup lama di pelataran Jerusalem Musem di dekat pintu masuk Haram El-sharief. Di sela-sela waktu tersebut, saya ngobrol santai dengan Fernando. Saya menceritakan kepadanya betapa kedudukan Masjid Al-Aqsa bagi umat Islam sangatlah penting. Masjid Al-Aqsa pernah menjadi kiblat pertama umat Islam, dimana nabi Muhammad SAW bersama para sahabat shalat selama kurang lebih 16-17 bulan lamanya dengan memalingkan wajah mereka ke arah masjid Al-Aqsa sebelum turun perintah untuk menghadap kakbah di Makkah al-Mukarramah. Saya juga ceritakan bagaimana peristiwa Isra dan Mikraj, kisah diperjalankanya nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga Sidratul Muntaha. Hingga obrolan –obrolan menarik lainya tentang keutamaan-keutamaan beribadah di masjid Al-Aqsa yang menjadi salah satu pemicu mengapa banyak Muslim di dunia ingin sekali shalat di Masjid Al-Aqsa, juga mengapa warga Palestina begitu mendamba untuk bisa beribadah dengan bebas di Masjid Al-aqsa sebagaimana dulu kala.

Obrolan kita terhenti. Rombongan mendapatkan konfirmasi bahwa tentara Israel melarang rombongan kami yang mayoritasnya terdiri dari non-Muslims untuk masuk ke dalam masjid Al-Aqsa, termasuk Fernando. Untuk masuk Kawasan masjid Al-Aqsa pun ada check point yang harus kita lewati dan dijaga ketat tentara Israel. Saya masih tidak tau pasti alasan mengapa saudara-saudara non-Muslim saya tersebut dilarang masuk. Alasan yang saya terima dari salah satu penanggung jawab program kala itu lebih kepada alasan teologis. Katanya, Al-aqsa adalah wilayah suci dan hanya diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam ajaran normatif Islam, agama ini melarang non-Muslim untuk masuk dalam wilayah masjid Al-Aqsa dan hanya diizinkan di wilayah pelataran/parkir saja. Kondisi ini secara tidak langsung memaksa saya untuk mengkaji lebih serius alasan normatif-teologis seputar larangan non-Muslim masuk dalam wilayah Al-Aqsa atau masjid-masjid lainya.

Di tengah kegamangan tersebut, Fernando menghampiri saya. Sambil senyum dan memperbaiki peci hitam saya yang sedikit miring, dia berkata: ‘Dito, saya tau Masjid al-Aqsa ini adalah salah satu tempat suci yang begitu dicintai umat Islam di dunia. Mengunjunginya adalah salah satu ibadah. Mengunjunginya adalah bagian dari upaya merenungi sejarah. Dari obrolan kita tadi dan beberapa literatur yang pernah saya baca tentang masjid inipun dikatakan bahwa Masjid al-Aqsa ini juga adalah kiblat pertama umat Islam sebelum turun perintah menghadap kiblat ke Kakbah di Makkah Al-Mukarramah. Pergilah ke dalam masjid itu. Beribadahlah dengan tenang dan penuh rasa syukur. Jangan lupa doakan kami semua agar selalu ada dalam kedamaian. Saya akan tunggu kamu di depan gerbang pintu keluar’.

Mendengar kata-kata ini. Saya tidak kuasa menahan tangis. Air mata saya mengalir begitu saja. Saya sempat menangis sambil memeluknya. Mengucapkan ribuan kata syukur yang begitu luar biasa. Bersama teman saya, Muhammad Saiful Mujab, saya bergegas masuk ke dalam Masjid Al-Aqsa. Waktu di Al-Aqsa saat itu menunjukan sekitar pukul 09.30 pagi. Waktu yang tepat untuk laksanakan shalat Duha. Setelah mengambil air wudhu, saya tunaikan shalat duha 4 rakaat.

Setelah shalat, tangis air mata saya kembali tumpah. Tangisan pun semakin menjadi-jadi.Teringat keluarga di Jakarta, juga pastinya pelajaran hidup akan makna toleransi antar umat beragama yang begitu luar biasa yang baru saja saya alami.

Setelah puas bercengkrama dan langitkan harapan dan doa di dalam Masjid, saya kembali menuju rombongan. Setelah melewati gerbang masjid saya dapati Fernando melambaikan tangan ke arah saya, saya berjalan lebih cepat, berlari, lantas memeluk Fernando, Terima kasih Fernando! Darimu aku belajar makna Toleransi yang sesungguhnya!.

Dito Alif Pratama,
Alumnus Vrije Universiteit Amsterdam