Catatan Menjadi
Muslim Indonesia di Belanda (Part 5)

Oleh: Dito Alif
Pratama, MA

Selain tentang sistem
pendidikan dan kehidupan beragama di Belanda, informasi seputar pelayanan kesehatan
di Belanda, saya rasa, juga merupakan salah satu tema menarik untuk ditulis dan
dijadikan bahan renungan. Belanda memang negara kecil, tidak lebih luas dari
provinsi Jawa Barat. Pun jumlah penduduknya yang tidak sebanding dengan
Indonesia, hanya sekitar 17,5 juta jiwa di kurun tahun 2017 (Source: Nuffic
Neso Indonesia),  tetapi untuk urusan
pelayanan kesehatan, negara ini termasuk salah satu yang patut diacungi jempol,
bahkan salah satu yang terbaik di eropa versi Euro Health Consumer Index
(EHCI).

Salah Satu
indikatornya adalah alokasi budget yang cukup besar untuk jaminan dan pelayanan
kesehatan bagi warga negaranya. Menurut Data World Bank di tahun 2017, Health
expenditure (biaya pengeluaran) pemerintah Belanda di Bidang kesehatan pada
tahun 2016 mencapai 10.36 persen dari total pendapatan negara, sangat
berbanding jauh atau bisa dibilang hampir 3 kali lipat lebih banyak dari
pemerintah Indonesia yang hanya mengalokasikan 3.12 persen dari total
pendapatan negaranya.  Ini salah satu
alasan mengapa negeri Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima ini sering kali
dinobatkan sebagai salah satu negara dengan penjamin pelayanan kesehatan
terbaik bagi warga negaranya di daratan benua biru, Eropa.

Sebelum melanjuti
catatan tulisan perjalanan ini, terlebih dahulu ingin saya tekankan bahwa saya bukanlah
seseorang yang ahli dalam bidang kesehatan. Karenanya, saran dan masukan akan
sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan catatan ini. Materi yang saya tulis dalam
tulisan singkat ini adalah informasi yang saya dapatkan dari pengalaman pribadi
saat hidup di Belanda, juga melihat langsung bagaimana teman-teman saya
berpengalaman keluar-masuk rumah sakit disana, bertanya kepada salah satu
keluarga asal Indonesia yang telah lama tinggal di Belanda yang tidak sekali
dua kali ‘pulang-pergi’ ke rumah sakit, juga beberapa informasi lain yang saya
rujuk dari sejumlah provider data yang bisa dipertanggungjawabkan
kredibilitasnya. Walau di sisi lain, saya pun bersyukur, Alhamdulillah, selama
saya tinggal di Belanda, tidak pernah sekalipun berurusan dengan pelayanan
kesehatan di salah satu rumah sakit manapun di Belanda, baik karena sakit atau
ingin dapatkan treatment khusus kesehatan lainya.

Dalam tulisan singkat
ini, saya ingin gambarkan bahwa ada sedikitnya tiga (3) informasi penting  seputar pelayanan kesehatan di Belanda yang kiranya
penting untuk kita ketahui dan ambil pelajaran darinya:

  1. Pemerintah
    Belanda Wajibkan Penduduknya Punyai Asuransi kesehatan

Salah satu kebijakan menarik dari pemerintah
negeri kincir angin ini adalah mewajibkan seluruh warga negaranya untuk
memiliki asuransi kesehatan. Mengapa harus diwajibkan? Alasan mendasar tentunya
adalah menghindari warga negara dari resiko finansial yang berhubungan dengan
kesehatan. Saat tiba-tiba jatuh sakit dan membutuhkan biaya berobat ke rumah
sakit, tentunya mau tidak mau kita harus mengeluarkan sejumlah biaya kesehatan
untuk menanggung resiko sakit tersebut. Syukur-syukur kalau biayanya tidak
besar, kalau biayanya besar? Tentu akan jadi persoalan.

Sejauh yang saya amati, biaya kesehatan dan rumah
sakit di Belanda tergolong cukup mahal, adanya asuransi kesehatan akan sangat
membantu masyarakatnya terhindar dari resiko finansial yang harus dihadapi. Karenanya,
pemerintah Belanda mewajibkan penduduk Belanda pada khususunya, dan para
pendatang (pelajar ataupun pelancong) untuk mempunyai asuransi kesehatan.

Pada umumnya, ada dua jenis asuransi kesehatan di
Belanda, yaitu asuransi dasar/ compulsory
basic insurance/basisverzekering, dan asuransi tambahan/optional
additional insurance/aanvullende verzekering. Asuransi utama yang
diwajibkan pemerintah belanda adalahasuransi dasar atau basisverzekering. Ada banyak perusahaan asuransi yang
bisa dijadikan mitra masyarakat di Belanda atau negara Schengen lainya, sebut
saja misalnya AON, Menzis, AXA, Allianz, Prudential, dan
lainya. Provider asuransi tersebut bersaing cukup ketat untuk menawarkan premi
bagi klienya, dengan harga berkisar mulai dari 100 euro (sekitar IDR 1.6 juta)
per bulan. Bagi masyarakat Indonesia, nominal biaya tersebut untuk suatu biaya
asuransi tergolong cukup mahal, namun untuk warga negara Belanda, dimana jumlah
upah minimal pendapatan warganya adalah diatas 1.600 euro/bulan, saya rasa
premi bulanan tersebut masihlah terjangkau. Ini dengan catatan, anak di bawah
usia 18 tahun, tidak diwajibkan membayar premi, karena masih dapat dispensasi
untuk ikut asuransi orangtuanya.

Bagaimana untuk asuransi pelajar/mahasiswa? Pelajar intenasional dan bahkan pelancong yang hendak pergi ke Belanda pun diwajibkan untuk mempunyai asuransi kesehatan. العاب اندرويد Mereka yang hendak tinggal di Belanda untuk durasi waktu yang singkat bisa mengambil premi asuransi harian, bulanan, atau tahunan (per satu tahun) sesuai dengan kebutuhan dan durasi waktu mereka akan tinggal di Belanda. Saat menyelesaikan studi master dulu, saya mengambil asuransi dasar/basisverzekering bagi pelajar yang ditawarkan oleh provider asuransi bernama: AoN, seharga EUR 471,65 (sekitar IDR 7.546.400) untuk satu tahun. Walau pada akhirnya, alhamdulillah, tidak sekalipun merasakan benefit dari provider asuransi tersebut, karena tidak sekalipun masuk rumah sakit selama studi di negerinya Robin van Persie ini. Alaa kulli haal, Alhamdulillah.

2. Wajib Bikin Janji
(Appointment) Untuk Bertemu Dokter

Berdasarkan kisah
teman-teman saya yang sering kali bolak-balik ke rumah sakit di Belanda,
seorang pasien tidak bisa serta merta datang ke dokter untuk diperiksa dan
mendapatkan pelayanan kesehatan secara khusus, melainkan harus buat janji
terlebih dahulu. Ini sesuai dengan tradisi masyarakat Belanda pada umumnya,
yaitu membuat janji (Afspraak maken) dan merencanakan semua aktifitas apapun
yang akan dilakukan setiap harinya.

Ketika sakit, suatu
kegaliban masyarakat di Belanda, akan terlebih dahulu diminta untuk menghubungi
dokter keluarga (huisarts/General Practitioner). Setiap keluarga wajib mempunya
koneksi dengan salah satu dokter keluarga di masing masing wilayahnya. Dokter
keluarga ini, bisa dibilang, mempunyai peran yang hampir sama dengan dengan
dokter umum di Indonesia. Dokter umum inilah yang menjadi perantara bagi pasien
di Belanda untuk bisa bertemu dokter spesialis di rumah sakit nantinya.

Untuk mendapatkan
janji bertemu dokter keluarga di Belanda, seorang pasien bisa membutuhkan waktu
kurang lebih 3-5 hari sesuai dengan jenis penyakitnya. Karenanya jangan kaget,
jikalau suatu waktu mendapatkan cerita seorang pasien ditolak oleh dokter dan
rumah sakit di Belanda karena tidak membuat janji sebelumnya. Tidak pandang
bulu, walaupun sudah cukup lama alias berhari-hari merasakan batuk, pilek,
panas-dingin, meriang, dan lainya; selama tidak membuat janji terlebih dahulu
dengan dokter atau pihak rumah sakit, pastilah akan ditolak dan disuruh pulang.

Namun, ada catatan menarik, Belanda termasuk negara yang memprioritaskan anak-anak dalam hal pembuatan janji bertemu dokter ini. Jikalau ada permohonan seorang anak, khususnya balita, untuk bertemu dokter karena sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan tertentu, pastilah akan diprioritaskan. ربح المال مجانا

3. Dokter di Belanda Tidak Mudah Memberikan Obat

‘Dokter di Belanda ini kok aneh ya,
anakku sakit meriang dan demam berhari-hari tapi malah dibilang tidak apa-apa,
dan hanya disuruh banyak istirahat, perbanyak minum air putih dan minum satu
jenis obat pereda panas ini’
Demikian salah satu
curhatan salah seorang teman saya yang berkuliah di Belanda sambil membawa keluarga,
istri dan anaknya. Suatu ketika anaknya sakit, setelah anaknya dibawa ke salah
satu dokter, malah ditanggapi demikian oleh salah satu dokter disana, ujarnya
kesal.

Awalnya, saya cukup kaget dengan
cerita yang dikisahkanya. Berbeda sekali dengan pelayanan yang umumnya kita
rasakan di Indonesia. Saat seorang pasien datang ke dokter dan mengeluhkan
beberapa persoalan kesehatanya, sang dokter akan melakukan berbagai macam
treatment hingga menyiapkan obat bermacam-macam dengan jumlah yang tidak
sedikit pula. Alasanya, ini ‘standar umum pelayanan’ kesehatan di
Indonesia untuk membuat pasien menjadi cepat sehat dan membaik.

Berbeda dengan Belanda, dokter-dokter
di Belanda, umumnya tergolong ‘pelit obat’ alias tidak mudah memberikan obat
kepada pasien, khususnya kepada anak-anak. Saya sempat bertanya-tanya, mengapa
hal ini bisa terjadi di negara maju seperti Belanda. Sampai akhirnya, saya
mendapatkan jawaban dari sebuah diskusi dengan salah seorang dokter dan ahli
farmasi disana (walau saya yakin ini belum tentu jawaban final).  Salah satu alasan penting mengapa
dokter-dokter di Belanda tidak mudah memberikan obat adalah karena sebuah
ikhtiar untuk tidak mudah membuat seseorang bergantung/mengalami ketergantungan
terhadap obat-obatan kimia. Lebih jauh lagi, mayoritas dari mereka juga
berargumen, ‘kehati-hatian memberikan obat (obat kimia khususnya) juga akan
sangat berpengaruh kepada kesehatan dan pengobatan di masa yang akan datang.’

Pernyataan ini cukup membuat saya
merenung cukup lama. Bahkan sempat terdetik dalam benak dan pikiran saya, ‘apakah
selama ini saya juga sudah sangat bergantung pada obat-obatan? Karena tiap kali
badan saya sakit, alam bawah sadar saya akan secara otomatis berkata, saya
butuh obat dan harus segera ke dokter untuk dapatkan obat?
Bagaimana dengan
teman-teman? Apakah juga sering berpikir demikian? إلعب واربح

Hal menarik lainya yang saya dapatkan
adalah bahwasanya  dokter-dokter di
Belanda akan lebih sering menekankan pentingnya menjaga pola hidup sehat dan
pola makan sehat kepada pasien yang datang. Kedua hal tersebut akan sangat
berpengaruh kepada kesehatan seseorang. Saya pikir ini cukup ampuh dan terbukti
di Belanda, bisa kita lihat dari rata-rata hidup orang Belanda (life
expectancy) di tahun 2017, dimana rata-rata usia hidup orang Belanda adalah 81.56
tahun. Cukup fantastis bukan?

Terlepas dari itu semua, memang, ada satu
hal yang saya sangat suka dari Belanda, yaitu semangat mengenalkan dan menjaga
pola hidup sehat bagi semua penduduknya. Salah satunya adalah dengan tradisi
bersepeda. Masyarakat di Belanda, sangat senang bersepeda. Anak-anak kecil pun
sudah dikenalkan pentingnya bersepeda sejak dini oleh orang tuanya. Bagi
mereka, bersepada tidak hanya sebuah aktifitas olahraga yang menyehatkan,
tetapi juga aktifitas yang telah membudaya dan mengakar kuat di hati
masyarakatnya. Bahkan, jumlah sepeda di Belanda saat ini jauh lebih banyak
daripada jumlah warga negaranya. Menarik bukan?

Dito Alif Pratama, MA

Founder Santri Mengglobal