1. Al-Amtsilah
    at-Tashrīfiyyah

Di pesantren kita tidak hanya mempelajari ilmu nahwu,
karena bagaimanapun untuk membaca kitab kita memerlukan pasangan dari ilmu Nahwu,
yaitu ilmu Sharaf. Kedua ilmu ini berbeda, jika ilmu nahwu mempelajari
perubahan yang terjadi di akhir-akhir kata, sedang ilmu Sharaf mempelajari
perubahan bentuk kata dari satu shigat kepada shigat lainnya. Intinya keduanya
saling melengkapi.

Salah satu kitab dalam ilmu Sharaf yang banyak
dipelajari di pesantren ialah kitab al-Amtislah at-Tasrīfiyyah. Kitab ini
dikarang oleh salah seorang ulama Nusantara, KH M Ma’shum bin Ali. lahir di
Maskumambang, Gresik. Beliau berasal dari Pondok Pesantren Seblak Jombang, selain
itu Kiai Ma’shum merupakan menantu dari pendiri NU, hadratus syeikh KH Hasyim
Asyari. Nama lengkapnya adalah KH Ma’shum adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin
Abdul Jabbar al-Maskumambani. Beliau wafat pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8
Januari 1933. Kiai Ma’shum merupakan ulama yang produktif, diantara
karya-karyanya adalah Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah, Fathul Qadir, ad-Durus
Al-Falakiyah,
dan Badi’atul Mitsal

Keistimewaan kitab ini ialah susunannya yang sistematis,
cocok sekali bagi pelajar yang ingin menghafal. Kitab ini banyak digunakan oleh
lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai rujukan, baik di dalam negeri maupun
luar negeri, bahkan kitab ini menjadi menjadi pegangan wajib di sebagian
pesantren salaf. Al-Amtsilah at-Tashrīfiyyah yang terdiri dari 60
halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya yang terkenal dan
banyak tersebar adalah Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya
tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH. Saifuddin
Zuhri.

  • Nadhom al-Maqshūd

Selain kitab al-Amtsilah at-Tashrīfiyyah, kitab
dalam cabang ilmu Sharaf yang laris dikaji di pesantren ialah Nadhom
al-Maqshūd
. Kitab ini sama seperti kitab yang dikarang Kiai Ma’shum, akan
tetapi redaksinya disusun dalam bentuk syair. Dikarang oleh Syaikh Ahmad bin
Abdurrahim al-Thahthawi (1132-1302 H), memuat sekitar 113 syair. Isinya
membahas mengenai perubahan bentuk kata atau kalimat didalam bahasa Arab.

Bagi para santri yang sebelumnya sudah mempelajari Amtsilah
at-Tashrīfiyyah
akan mudah untuk mempelajari bentuk-bentuk perubahan kata
yang dibahasa dalam Nadhom Maqshūd.

  • Madhom al-‘Imrīthy

Nadhom ‘Imrithy ditulis oleh Syaikh Syarafuddin al-‘Imrithy, seorang ulama yang berasal
dari kota Amrit, sebuah desa di Abou Hammaad, bagian timur Mesir. Beliau merupakan
ahli fikih, ushul, nazom, dan bermazhab syafi’i. Wafat pada tahun 890 Hijriyyah
yang bertepatan dengan 1485 Masehi, referensi lain menyebutkan tahun wafat yang
berbeda, yaitu 988 Hijriyyah yang bertepatan dengan 1580 Masehi.

Nadhom ‘Imrithi merupakan kitab yang cocok bagi santri setelah mengkhatamkan kitab
Jurumiyah, pasalnya kita seperti mengulang-ulang kembali pelajaran yang telah
kita kuasai dan efeknya sungguh besar, yaitu kuatnya hafalan dalam ingatan
kita. Materi-materi yang terus diulang akan menghasilkan malakah dalam otak. اربح مال

Selain itu, banyak sekali mutiara dari bait-bait
‘Imrithy yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup kita. Tidak panjang, hanya
berupa aforisma pendek namun jika digali dan dikaji lebih dalam akan memaparkan
sebuah inspirasi minimal untuk kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, secara
tidak sadar, sebagaimana dalam Alfiyah, bait-bait ‘Imrithy turut serta
menyinggung masalah sosial dalam kehidupan kita.

Keistimewaan kitab ini diantaranya adalah bentuknya,
yaitu bait-bait syair yang dapat disenandungkan, dan juga nazom ini menyerupai
syarah atau penjelasan bagi matan kitab induknya yaitu al-Ajurumiyyah. Hal
tersebut dapat diketahui secara gamblang dalam baitnya yang berbunyi:

ﻓَﺠَﺎﺀَ ﻣِﺜْﻞَ
ﺍﻟﺸَّﺮْﺡِ ﻟِﻠْﻜِــﺘﺎَﺏِ

Nazom ini terbit seperti halnya penjelasan (bagi
matan)

Dibuatnya nazom ini atas permintaan salah satu sahabat
karib Syaikh al-‘Imrithy, padahal beliau lebih yakin kalau sahabatnya lebih
memahami matan tersebut dibanding dirinya. Akhirnya beliau menyusun nazom
tersebut dengan ringkas dan memudahkan bagi pemula, serta membuang pendapat
marjuh dan menambahkan beberapa bahasan penting. Beliau merupakan orang yang
sangat rendah hati dan sangat berhati-hati, hingga di akhir bait mukaddimah
menyebutkan “Maka kami memohon kepada Sang Maha Mengaruniai agar sekiranya
memberikan ganjaran bagi kami, melindungi kami dari sifat riya dan
melipatgandakan pahala kami. (Majid Muhammad ar-Rāghib, Syarh ad-Durrah
al-Bahiyyah Nadzm al-Ajurumiyyah, Dar el-‘Ashma`, halaman 14-16)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *