Siapa yang tidak kenal sosok Gus Dur? Presiden Indonesia pertama dari kalangan santri. Sosok ilmuwan sekaligus negawaran yang senantiasa menjunjung tinggi dan memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. قوانين البلاك جاك Sosok sederhana dan jenaka yang selalu saja mampu mencairkan suasana dan mendatangkan kenyamanan bagi siapapun yang berada di sampingnya. Sosok yang kredibilitas dan kapasitas keilmuanya, sampai hari ini, masih sangat diakui tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional.
Saya bisa katakan, Gus Dur adalah ‘role model’ terbaik bagi kalangan santri Indonesia saat ini. Tidak hanya karena semangat belajarnya di ranah lokal dan internasional, tetapi juga kiprah dakwah dan pengabdianya yang mengglobal. Semangat gus Dur mengaji dan belajar di banyak pesantren di Indonesia hingga singgah untuk belajar di Mesir dan Baghdad adalah salah satu bukti nyatanya. Dimanapun Gus Dur mengaji dan belajar, ia tidak hanya fokus menekuni suatu ilmu semata, tetapi juga memikirkan hal-hal dan kontribusi apa saja yang bisa ia lakukan bagi Islam dan Indonesia, baik di tempat di mana ia singgah saat itu maupun kelak sepulangnya ke Indonesia.
Sungguh, tidaklah cukup satu-dua lembar untuk mengisahkan bagaimana besar dan hebatnya sosok yang begitu sangat dipuja dan dicinta tidak hanya oleh kalangan Nahdlatul ulama, tetapi juga masyarakat Indonesia dan dunia. العاب اون لاين Tulisan ini hendak mengisahkan secara singkat bagaimana peran dan jasa Gus Dur bagi Muslim Indonesia di Belanda.
Saya melihat, peran dan jasa Gus Dur bagi umat Islam Indonesia di Belanda sangatlah vital dan luar biasa. Salah satunya adalah, Gus Dur berperan penting atas berdirinya komunitas diaspora Muslim Indonesia di Belanda bernama PPME (Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa) yang didirikan di pada 12 April 1971.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa Gus dur yang saat itu (sekitar tahun 1970-an) tengah belajar di Baghdad berperan atas berdirinya komunitas PPME? Apa saja peran dan jasa yang telah dilakukan Gus Dur dalam pendirian PPME Belanda?
Saya menjawab dua pertanyaan diatas berdasarkan rangkuman hasil wawancara di pertengahan tahun 2017 dengan salah satu tokoh PPME Belanda yang juga merupakan adik kelas Gus Dur saat di Baghdad, K.H Nafan Sulchan. Juga, riset atas sebuah ‘masterpiece’ doctoral yang berjudul: Persatuan Pemuda Muslim Se-Eropa: identity, Encouragement for Giving, and Network 1971-2009 yang ditulis oleh seorang dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menyelesaikan studi doktoralnya di kampus Leiden Belanda tahun 2017, Bapak Sujadi namanya.
Saya akan mulai dengan mengisahkan bagaimana awal mula kedatangan Gus Dur ke Belanda. Kedatangan Gus Dur ke Belanda sebagaimana dikisahkan oleh K.H Nafan Sulchan tidak terlepas dari semangat Gus Dur yang ingin sekali belajar di kampus Leiden University. Salah satu kampus tertua yang terletak di kota Leiden, Belanda yang hingga saat ini diminati oleh banyak peneliti dan muslim scholars Indonesia untuk dapatkan akses informasi tentang sejarah Indonesia karena mempunyai perpustakaan special collection khusus sejarah Indonesia. Walau pada akhirnya, Gus Dur tidak jadi ‘sempat’ merasakan pendidikan formal di kampus tertua di Belanda tersebut.
Selain untuk mendapatkan akses informasi mengenai kampus Leiden, kedatangan Gus Dur ke Belanda juga dalam rangka mengisi waktu liburan kuliah di Baghdad-nya untuk mengembangkan jaringan di eropa dan menjadi pekerja part-time. Di era-1970an, negeri Belanda belum terlalu ketat dalam hal kebijakan mengeluarkan visa bagi warga negara lain. Terlebih saat itu, negeri Belanda tengah membutuhkan banyak tenaga kerja dari mancanegara. Itulah mengapa di dekade 1970-an banyak mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Timur Tengah seperti Mesir, Maroko, dan Iraq menjadikan Belanda sebagai tujuan untuk mengisi waktu liburan kuliah mereka dengan bekerja part-time guna menambah pundi-pundi uang jajan dan uang saku belajar. Kurang lebih 6 bulan lamanya gus Dur tinggal di Belanda. Dan dalam kurun waktu tersebut itu pulalah Gus Dur berkecimpung dalam proses berdirinya PPME yang hingga kini telah memiliki sedikitnya 6 cabang di seluruh penjuru Belanda.
Terkait sejarah berdirinya PPME, dalam catatan Sujadi, diantara tokoh utama yang berperan penting dibalik berdirinya PPME di tahun 1971 adalah H. Abdul Wahid Kadungga, H. Ahmad Hambali Maksum, H. Mochammad Chaeron, dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
H. Abdul Wahid Kadungga adalah seorang tokoh PII yang berasal dari Makassar. Ia pernah menjadi sekretaris M. البينجو Natsir dan aktif menjadi pengurus di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Negara eropa yang menjadi tujuan belajar Kadungga awalnya adalah Jerman. Kadungga pernah dipenjara oleh rezim order baru karena tuduhan makar terhadap rezim tersebut dan setelah dibebaskan ia hijrah ke Belanda untuk mencari suaka. Tokoh kedua adalah Ahmad Hambali Maksum, alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor yang pada tahun 1971 bekerja di Belanda sebagai guru di The Netherlands Indonesian School. Sampai saat ini, K.H Hambali masih menjadi tokoh yang dituakan dan berpengaruh bagi PPME Belanda. Selanjutnya, H. Mochammad Chaeran adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) jebolah universitas Gadjah Mada. H. Chaeron pernah merasakan pengalaman tinggal dan belajar di Saudi Arabia karena statusnya sebagai staff/pekerja di penerbitan Masyumi. Sosok terakhir, adalah tokoh yang menjadi ‘inti’ dari tulisan ini, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sosok ini bisa jadi adalah sosok pembeda dari para pendiri PPME lainya. Gus Dur adalah ‘santri tulen’ yang sejak lahir hingga wafatnya tidak pernah lepas dari dunia pesantren. Ia pernah belajar di Pondok Pesantren Krapyak, Pesantren Tegalrejo Magelang hingga Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Karir dan pengalamanya tinggal di Pesantren dan belajar ilmu agama tidaklah diragukan.
Jika kita lihat sepintas dari background ormas para pendiri PPME, terjadi persinggungan antara ormas Muhammadiyah, DDII, dan NU pada kala itu. Namun, atas nama persaudaraan Muslim Indonesia di Belanda, perbedaan tersebut tidaklah mereka kedepankan dahulu in I demi terwujudnya wadah untuk pelestarian dan penguatan persaudaraan Islam di antara Muslim Indonesia yang tinggal di Belanda melalui kegiatan dakwah, pendidikan serta jaringan tanpa syarat dan kegiatan Bersama.
Terlepas dari background pendirinya, Sosok Gus dur dengan segala Pengalaman dan wawasanya yang moderat, secara tidak langsung, juga cukup berperan dalam mewarnai bentuk ideologi moderasi dan arah tujuan PPME kedepanya. Salah satu ruh PPME yang saya rasakan, sebagaimana pengalaman saya pernah tinggal di Belanda, adalah semangat innklusivitas PPME tersebut. Yang oleh K.H Nafan juga dikatakan bahwa hal ini juga tidak lepas dari pemikiran dan mgagasan Gus Dur.
Sebagai organisasi Muslim Indonesia di Belanda, PPME haruslah didesain menjadi organisasi yang inklusif yang bisa mewadahi dan menaungi semua paham keagamaan. Didakwahkan dengan cara yang moderat, dengan ramah bukan marah. Terlebih komunitas ini berada di eropa, wilayah yang islamophobia-nya masih cukup kental, agar kelak komunitas ini tidak hanya mewadahi aktifitas Muslim Indonesia di Belanda, tetapi juga muslim atau non-muslim dari berbagai latar negara dan agama. Inilah yang menjadi tantangan dakwah PPME yang sebenarnya. Mengenalkan Islam yang ramah dan moderat sebagaimana Islam berkembang di Indonesia. Alhamdulillah, PPME sampai hari inipun masih terus eksis dan menjadi garda terdepan dalam merawat dan meruwat tradisi Islam khas Indonesia di wilayah Belanda khususnya dan negara-negara di eropa pada umumnya.
Kepada K.H Sulchan, Gus Dur pun pernah berkata ‘Diaspora Muslim Indonesia di Belanda kedepanya akan semakin banyak, kalau tidak direkatkan dalam satu wadah komunitas, mereka nantinya akan terpecah-pecah ikut sana-sini, kita pun akan kehilangan kesempatan untuk dakwah Islam khas Indonesia di negeri ini.’
Lalu timbul pertanyaan, mengapa menggunakan nama pemuda se-Eropa, sedangkan homebase komunitas ini adalah di Belanda? Pemilihan nama ‘Eropa’ adalah sebuah kesepakatan sekaligus doa dari para pendirinya agar PPME senantiasa menjadi rumah bagi semua pemuda muslim di Eropa, tidak hanya di Belanda. Amin.
Dito Alif Pratama, MA